“Bakhil”, Bukan Sifat Biasa

Fatan Abu Miqdam
Kecintaan terhadap harta adalah sifat manusia. Sebab dengan hartalah ia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bukan hanya hidupnya, namun juga hidup orang-orang yang dicintainya. Betapa banyak darah tertumpah, air mata tercurah, dan hubungan tercacah hanya karena demi dan mempertahankan harta. Termasuk bakhil terhadap harta. Semakin besar kecintaan terhadap harta, maka akan semakin kuat kebakhilan itu menerpa. Harta dan kebakhilan adalah dua sisi yang tidak akan pernah terpisah hingga dunia menemui ajalnya:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لِرَبِّهِ لَكَنُودٌ (6) وَإِنَّهُ عَلَى ذَلِكَ لَشَهِيدٌ (7) وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ (8)
“Sesungguhnya manusia benar-benar ingkar kepada Tuhannya. Dan ia benar-benar menyaksikan hal itu. Dan ia benar-benar mencintai harta dengan sangat.” (QS. Al-‘Adiyat: 6-8)
Ada yang unik ketika Al-Quran membahas tentang bakhil. Yakni umumnya Al-Quran menyebutkan tentang orang-orang bakhil dengan menyandingkannya bersama orang-orang yang sombong. Seolah-olah sifat bakhil itu identik dengan kesombongan dan keangkuhan. Ini bisa kita dapati dalam surat An-Nisa: 36-37 dan Al-Hadid: 23-24. Allah menyandingkan kesombongan (mukhtal) dan keangkuhan (fakhur) secara bersamaan sebanyak 3 kali dalam Al-Quran, yakni pada kedua surat di atas dan ditambah dengan surat Luqman: 18. Pada kedua surat tersebut, Allah menyandingkan kedua sifat itu dengan sifat bakhil. Ini menunjukkan eratnya hubungan masing-masing sifat tersebut. Seakan-akan tidaklah seseorang memiliki sifat bakhil melainkan adanya sifat sombong dan angkuh dalam dirinya.
Allah berfirman:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (24)
“Agar kalian tidak berputus asa atas apa-apa yang luput dari kalian dan tidak (terlalu) senang terhadap apa-apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap (orang yang) sombong dan angkuh. (Yaitu) orang-orang yang bakhil dan memerintahkan manusia agar bakhil. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.” (QS. Al-Hadid: 23-24)
Begitu juga dengan firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan angkuh. (Yaitu) orang-orang yang bakhil dan memerintahkan manusia agar bakhil dan menyembunyikan apa-apa yang telah Allah beri untuk mereka dari karunia-Nya…” (QS. An-Nisa: 36-37)
Mujahid menafsirkan, “mukhtal adalah orang yang takabbur (sombong), sedangkan fakhur adalah orang yang selalu menghitung-hitung pemberiannya dan tidak bersyukur kepada Allah.” (Tafsir Ath-Thabari VIII/350)
Ibnu Katsir menafsirkan mukhtal dan fakhur, “Yaitu sombong pada dirinya, takjub dan arogan serta memandang rendah orang lain. Menganggap ia lebih baik dari orang selain dirinya. Ia pun merasa besar diri, padahal di hadapan Allah ia tidak bernilai sama sekali, dan di depan manusia ia dibenci.” (Tafsir Ibnu Katsir II/301).

Al-Baghawi mengatakan, “Al-Bukhl (bakhil) menurut ucapan orang Arab bermakna enggan memberikan kelebihan harta yang dimilikinya.” (Tafsir Al-Baghawi I/621)
Zaid bin Aslam mengatakan, “Bakhil itu adalah orang yang tidak menunaikan hak Allah atas hartanya.” (Tafsir Ibnu Abi Hatim III/952)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas menyebutkan tentang sebab turunnya (sababun nuzul) ayat di atas, “Sebagian kaum Yahudi[1] mengatakan kepada sebagian kaum Anshar, “Janganlah kalian mau menginfakkan harta kalian, karena kami khawatir kalian akan jadi miskin jika harta kalian diinfakkan. Jangan kalian tergesa-gesa dalam memberi tanggungan (santunan), karena kalian tidak tahu apa yang nanti akan terjadi.” Lalu Allah pun menurunkan ayat: (Yaitu) orang-orang yang bakhil dan memerintahkan manusia agar bakhil dan menyembunyikan apa-apa yang telah Allah beri untuk mereka dari karunia-Nya…” (QS. An-Nisa: 36-37).”[2]
Eratnya hubungan antara kesombongan dan keangkuhan dengan kebakhilan ini diperkuat dengan adanya sabda Nabi, “Ada 3 hal yang Allah cintai dan 3 hal yang Allah benci.” Lalu Abu Dzar Al-Ghifari bertanya:
مَنِ الثَّلَاثَةُ الَّذِينَ يُبْغِضُهُمُ اللهُ؟ قَالَ: “الْفَخُورُ الْمُخْتَالُ، وَأَنْتُمْ تَجِدُونَ فِي كِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ} ، وَالْبَخِيلُ الْمَنَّانُ، وَالتَّاجِرُ أَوِ الْبَيَّاعُ الْحَلَّافُ
“Siapakah ketiga orang yang Allah benci (murkai) itu?” Rasulullah bersabda: “Orang yang angkuh dan sombong. Kalian dapat menemukannya dalam Kitabullah: “Sesungguhnya Allah tidak mernyukai setiap orang yang sombong lagi angkuh”, orang bakhil yang suka menyebut-nyebut pemberiannya, dan pedagang atau penjual yang gemar bersumpah.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad: 21530 dari Abu Dzar Al-Ghifari).[3]
Al-Hafizh Adz-Dzahabi memasukkan kesombongan dan keangkuhan bagian dari dosa besar. Beliau mengatakan, “Dosa besar ke-17: Sombong, Angkuh, Arogan, dan Ujub (Takjub pada Diri Sendiri)[4]. Jika sombong dan angkuh merupakan dosa besar, maka kebakhilan pun pada tahap tertentu bisa menjadi dosa besar. Karena bakhil berasal dari kesombongan itu sendiri.
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haytami menjelaskan bahwa di antara sifat manusia yang menjadi pintu setan dalam merusak seorang hamba adalah bakhil. Beliau berkata, “Diantara sifat itu adalah bakhil dan takut miskin. Itu akan membuat manusia enggan bersedekah dan berinfak dalam berbagai lini kebaikan dan setan menyuruhnya agar senantiasa menahan hartanya, menabungnya, dan menimbunnya. Hanya adzab Allah yang pedih yang menjadi ancaman bagi orang yang gemar menimbun harta sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Quranul Karim.”[5]
Dari penjelasan ini semua, kita menemukan bahwa bakhil itu memiliki beberapa bentuk. Yang paling tampak adalah enggan memberikan kelebihan hartanya padahal ia telah diwajibkan untuk mengeluarkannya, seperti enggan menunaikan zakat dan orang yang memberi namun suka mengungkit-ngungkit pemberiannya di hadapan orang lain. Ini paling parah dan bakhil yang besar dosanya di sisi Allah. Adapun bakhil selain itu juga haram meski dosanya tidak separah bentuk di atas, yaitu ia melaksanakan kewajibannya pada hartanya (zakat), tetapi susah bersedekah dan berbagi pada sesama karena takut miskin padahal ia dalam keadaan berkecukupan dan lapang. Bakhil jenis ini disebut dengan syuh dalam Al-Quran.
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Barangsiapa yang terlindung dari syuh (kekikiran) dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Walhasil, kita pun akhirnya faham mengapa Allah amat mengecam orang-orang yang bakhil berikut kebakhilan mereka. Sebab kebakhilan itu pada dasarnya tidak memudharatkan Allah dan mereka sedikit pun tidak layak bersikap bakhil karena Allah yang memberi mereka rezeki. Kebakhilan itu justru bagian dari kesombongan dan keangkuhan itu sendiri, dimana kedua sifat tersebut hanya Allah yang berhak memilikinya. Karena itulah Allah berfirman:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Janganlah orang-orang yang bakhil terhadap apa-apa yang telah Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka hal itu (karunia itu) lebih baik bagi mereka. Justru hal itu (apa yang Allah berikan) lebih buruk untuk mereka. Niscaya mereka akan dikalungkan dengan apa yang mereka bakhilkan itu di hari kiamat kelak. Hanya milik Allah segala warisan di langit dan bumi…” (QS. Ali Imran: 180)
Pada ayat ini Allah mengancam akan menyiksa orang-orang bakhil dengan melilitkan harta yang mereka bakhilkan itu ke tubuh mereka di akhirat kelak. Agar mereka tahu bahwa harta yang mereka timbun dan tabung tersebut sejatinya tidak bermanfaat bagi mereka di hadapan Allah. Hakikatnya kebakhilannya itu hanya menimpa dirinya sendiri, “…Barangsiapa yang bakhil, maka sungguh ia hanya bakhil pada dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya dan kalian adalah orang-orang fakir….” (QS. Muhammad: 38).
Ya, pada dasarnya orang bakhil itu adalah orang miskin yang sebenarnya. Jika ia kaya, ia tidak akan khawatir dengan hartanya sama sekali. Dengan sangat jelas Allah langsung menyebut orang-orang bakhil itu sebagai orang-orang fakir. Inilah mungkin hikmahnya mengapa seseorang ketika akan wafat, amalan yang akan ia minta dari Allah untuk dikerjakannya jika ia diberi penangguhan waktu kematian adalah sedekah.
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan infakkanlah apa-apa yang telah Kami rezkikan untuk kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang kalian, lalu ia berkata, “Wahai Rabbku, andaikan Engkau tangguhkan (ajal)ku sebentar saja, pasti aku akan bersedekah dan menjadi bagian dari orang-orang shaleh.” (QS. Al-Munafiqun: 11)
Wallahu a’lam bish shawab
[1] Ini adalah ringkasan dan sedikit perubahan redaksi. Pada redaksi aslinya riwayat tersebut menyebut beberapa nama pembesar Yahudi.
[2] Atsar riwayat Ath-Thabari dalam tafsirnya VIII/353. Syaikh Ahmad Syakir memperbincangkan riwayat ini dalam tahqiq beliau pada Tafsir Ath-Thabari I/217 dan sampai pada kesimpulan: “Shahih hingga Ibnu Ishaq. Namun dhaif hingga Ibnu Abbas. Maka jadilah riwayat ini seperti riwayat sirah, bukan riwayat hadits.” Artinya, tidak boleh berhujjah dengannya, namun boleh mengambil pelajaran/faedah dari riwayat tersebut selama tidak berpengaruh pada aqidah dan hukum Islam. Wallahu a’lam
[3] Syuaib Al-Arnauth mengatakan dalam Tahqiq Musnad Ahmad XXXV/42: “Sanadnya shahih menurut syarat muslim.” Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ I/589
[4] Al-Kabair I/76
[5] Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair I/142
Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia
Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)