Boikot Dalam Sejarah Para Nabi

Fatan Abu Miqdam

Boikot-memboikot menjadi sesuatu yang masyhur hari ini sebagai imbas dari perbuatan Presiden Perancis beserta rakyatnya yang membela pembuatan karikatur Nabi Muhammad oleh sebuah majalah disana dengan dalih kebebasan berekspresi. Tindakannya tersebut mendapat reaksi aktif oleh umat Islam sedunia yang diwujudkan dalam bentuk pemboikotan produk-produk dagang Perancis di berbagai negeri kaum Muslim. Termasuk di Indonesia. Hal tersebut adalah hal wajar mengingat kedudukan Rasulullah yang begitu mulia dan agung bagi umat Islam dan merupakan manusia terbaik yang dijaga kesucian dan kehormatannya oleh Islam. Para ulama Islam sepakat halalnya darah orang yang berani membuat penghinaan terhadap beliau. Tidak ada penghinaan yang berkonsekwensi penumpahan darah selain dari penghinaan terhadap beliau. Sebab beliau adalah simbol Islam yang membedakan antara Islam dengan agama lainnya. Penghinaan terhadap sosok dan pribadi beliau berarti penghinaan terhadap seluruh ajaran Islam. Karena dari beliaulah ajaran Islam itu diterima, wahyu diturunkan, dan al-Quran diajarkan. Maka umat Islam pun menempuh cara boikot sebagai bentuk perlawanan dan penentangan terhadap penguasa perancis pecundang tersebut beserta rakyatnya yang dungu, dimana mereka membela mati-matian penghinaan itu dengan dalih kebebasan “kebinatangan” yang mereka yakini.

Sejatinya boikot-memboikot bukanlah hal baru yang terjadi di masa kini. Bahkan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad tindakan boikot ini pernah dilakukan sebagian para nabi. Al-Quran sendiri mengabadikan hal tersebut dalam ayat-ayatnya. Nabi pertama yang berinsiatif melakukan pemboikotan adalah Nabi Yusuf. Allah menceritakan hal tersebut dalam al-Quran:

فَإِنْ لَمْ تَأْتُونِي بِهِ فَلَا كَيْلَ لَكُمْ عِنْدِي وَلَا تَقْرَبُونِ

“Jika kalian tidak membawanya (saudara kalian seayah) kepadaku, maka tidak ada lagi bahan makanan dariku untuk kalian dan jangan dekati aku (lagi).” (QS. Yusuf: 60)

Ucapan ini disampaikan oleh Nabi Yusuf kepada saudara-saudara beliau yang dulu pernah melempar beliau ke dalam sumur. Mereka tidak mengenali beliau. Saudara seayah yang dimaksud adalah saudara kandung Nabi Yusuf seayah dan seibu dengan beliau, yaitu Bunyamin bin Ya’qub, dari istri Nabi Ya’qub yang bernama Rahil (Rachel). Sebab Rachel melahirkan 2 anak untuk Nabi Ya’qub.[1]

Ucapan Nabi Yusuf tersebut bermakna ancaman  boikot dan ini terlihat dari pengakuan saudara-saudaranya tersebut:

فَلَمَّا رَجَعُوا إِلَى أَبِيهِمْ قَالُوا يَا أَبَانَا مُنِعَ مِنَّا الْكَيْلُ فَأَرْسِلْ مَعَنَا أَخَانَا نَكْتَلْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Ketika mereka kembali kepada ayah mereka, mereka berkata, “Wahai ayah kami, kami telah dilarang dari (membeli) bahan makanan (diboikot), maka utuslah bersama kami saudara kami ini agar kami dapat membeli bahan makanan dan kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Yusuf: 63).

Disini Nabi Yusuf mengancam akan melakukan pemboikotan kepada saudara-saudara beliau sendiri yang belum mengenali beliau jika mereka tidak menuruti perintah dan keinginan beliau. Nabi Yusuf menjadikan pemboikotan sebagai ancaman dan Allah mengisahkannya dalam al-Quran. Ini menunjukkan bahwa boikot-memboikot adalah salah satu kebijakan para nabi.

Pemboikotan juga pernah dilakukan oleh Nabi Musa dan ini juga dikisahkan dalam al-Quran. Bahkan pemboikotan yang dilakukan Nabi Musa lebih ekstrem lagi. Pemboikotan tersebut dilakukan oleh Nabi Musa terhadap Samiri, inisiator penyembahan patung anak sapi di kalangan kaum Bani Israil tatkala beliau pergi gunung Sinai untuk menerima Taurat. Allah berfirman:

قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ

“Ia (Musa) berkata, “Pergilah engkau! Sesungguhnya di dalam hidup ini engkau harus mengatakan: ‘Jangan menyentuh (ku)!’ dan bagimu janji ancaman yang tidak dapat engkau hindari….” (QS. Thaha: 97).

Imam ath-Thabari menafsirkan: “Musa berkata kepada Samiri, “engkau wajib mengatakan aku tidak boleh menyentuh dan tidak boleh disentuh. Disebutkan bahwa Musa memerintahkan Bani Israil agar tidak makan bersamanya, berinteraksi dengannya, dan saling berjual beli terhadapnya…” (Tafsir ath-Thabari XVIII/363).

Nabi Musa tidak hanya memboikot Samiri dalam secara ekonomi, namun juga memboikotnya secara sosial dimana Bani Israil tidak boleh berinteraksi dan bermuamalah sedikit pun dengannya. Bahkan bersentuhan sekali pun dan ini berlaku sepanjang hidup Samiri. Pemboikotan ini jauh lebih keras dari ancaman boikot Nabi Yusuf.

Terakhir adalah Nabi Muhammad. Pemboikotan juga pernah terjadi di zaman beliau dan beliau mendiamkannya. Pemboikotan tersebut dilakukan seorang sahabat bernama Tsumamah bin Atsal tanpa meminta persetujuan Rasulullah terlebih dahulu. Maka jadilah ini sunnah taqririyah Rasulullah. Abu Hurairah menceritakan ucapan setelah Tsumamah masuk Islam:

يَا مُحَمَّدُ، وَاللَّهِ مَا كَانَ عَلَى الأَرْضِ وَجْهٌ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ وَجْهِكَ، فَقَدْ أَصْبَحَ وَجْهُكَ أَحَبَّ الوُجُوهِ إِلَيَّ، وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ دِينٍ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْ دِينِكَ، فَأَصْبَحَ دِينُكَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيَّ، وَاللَّهِ مَا كَانَ مِنْ بَلَدٍ أَبْغَضُ إِلَيَّ مِنْ بَلَدِكَ، فَأَصْبَحَ بَلَدُكَ أَحَبَّ البِلاَدِ إِلَيَّ، وَإِنَّ خَيْلَكَ أَخَذَتْنِي وَأَنَا أُرِيدُ العُمْرَةَ، فَمَاذَا تَرَى؟ فَبَشَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَهُ أَنْ يَعْتَمِرَ، فَلَمَّا قَدِمَ مَكَّةَ قَالَ لَهُ قَائِلٌ: صَبَوْتَ، قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ أَسْلَمْتُ مَعَ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ وَاللَّهِ، لاَ يَأْتِيكُمْ مِنَ اليَمَامَةِ حَبَّةُ حِنْطَةٍ، حَتَّى يَأْذَنَ فِيهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Wahai Muhammad, demi Allah dulu tidak ada wajah yang paling aku benci di muka bumi ini melebihi wajahmu, namun sekarang wajah adalah wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tiada agama yang lebih aku benci melebihi agamamu, sekarang agamamu agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tiada tanah yang paling aku benci melebihi tanahmu, sekarang tanahmu adalah tanah yang paling aku cintai. Kudamu menarik hatiku dan aku hendak umrah, bagaimana menurutmu?” Rasulullah pun menggemberikannya dan memerintahkannya umrah. Setibanya ia di Makkah, ada orang yang mengatakan: “Apakah kau sudah menjadi shabii[2]?” Tsumamah menjawab: “Tidak! Namun aku masuk Islam bersama Muhammad. Demi Allah, tidak akan datang kepada kalian sebiji gandum pun dari Yamamah hingga Rasulullah mengizinkannya untuk kalian.” (HR. Al-Bukhari: 4372 dan Muslim: 1764).

Kelanjutan kisahnya: “Tsumamah kembali ke negerinya (Yamamah) dan memboikot pengangkutan gandum untuk kaum Quraisy hingga kaum Quraisy mengalami kesulitan pangan. Akhirnya mereka menuliskan surat kepada Nabi meminta dengan membawa-bawa hubungan kekerabatan mereka dengan Nabi agar Tsumamah membebaskan pemboikotan pengangkutan gandum untuk mereka. Nabi pun melakukannya.” (HR. Al-Bayhaqi: 18031).

Dari riwayat di atas terlihat bahwa Tsumamah memboikot kaum Quraisy tanpa sepengetahuan dan seizin Nabi terlebih dahulu. Nabi juga tidak memerintahkannya untuk itu. Ketika sampai kepada Nabi bahwa kaum Quraisy mengeluh akibat pemboikotan tersebut, Nabi tidak mengingkari dan menegur Tsumamah bin Atsal. Sebab itu merupakan hak pribadi Tsumamah sebagai tokoh masyarakat di Yamamah.. Maka menjadikan urusan pemboikotan semata sebagai hak pemerintah tertolak dengan adanya hadits ini. Pemboikotan pada produk-produk kaum kafir –khususnya yang menghina Rasulullah secara terang-terangan- jauh lebih layak selama tidak memudharatkan umat Islam sendiri, apatah lagi jika mayoritas umat sepakat melakukannya.

Jelaslah bahwa pada dasarnya boikot-memboikot memiliki dasar dalam syariat. Termasuk sunnah taqririyah Nabi yang sifatnya boleh bagi umat Islam. Bahkan termasuk sunnah para nabi terdahulu sebagaimana perbuatan Nabi Yusuf dan Nabi Musa dan al-Quran sendiri menjadi saksi akan hal itu. Artinya, boikot-memboikot adalah bagian dari ajaran para nabi dan digunakan apabila ada sebab-sebab tertentu yang memang dibutuhkan demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim, di antaranya untuk memberi efek jera dan perlawanan bagi orang-orang kafir seperti yang dilakukan oleh Tsumamah, atau hukuman bagi orang yang berbuat kerusakan dan penyesatan terhadap agama Allah seperti perbuatan Nabi Musa, atau semata karena kepentingan politik yang mengandung kemaslahatan bagi umat, seperti tindakan Nabi Yusuf. Wallahu a’lam


[1] Informasi ini terdapat di Taurat Ibrani (menurut istilah Yahudi) atau Perjanjian Lama (menurut istilah Nasrani). Lihat Kitab Kejadian Pasal 35 Ayat 24. Yakni informasi tentang istri-istri dan anak-anak Nabi Ya’qub.

[2] Shabi’i adalah sebuah agama. Agama yang menolak penyembahan berhala. Dahulu kaum Quraisy menyebut siapa saja yang masuk Islam sebagai pengikut agama Shabi’i. Mereka juga menggelari Nabi dan para sahabat sebagai sabi’i. Siapa saja yang menolak penyembahan berhala namun tidak menisbahkan dirinya kepada Yahudi dan Nasrani akan disebut Sabi’i oleh kaum Quraisy.


Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia

Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *