Menghina Nabi, Tradisi Para Pembenci Islam

Fatan Abu Miqdam

Tiada seorang pun yang rela dihina maupun mendapatkan penghinaan. Hatta jika orang tersebut hina sekali pun, ia tidak akan terima dihina. Lantas bagaimana jika yang dihina itu adalah seseorang yang sedikit pun tidak pantas dihina?!

Penghinaan kepada Rasulullah sudah menjadi kebiasaan musuh-musuh Islam. Biasa keluar dari lisan kaum munafik dan kafir. Alangkah anehnya jika ada suatu negara yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, namun melegalkan penghinaan terhadap simbol keyakinan orang lain?! Bagaimana jika simbol negara dan konstitusi mereka yang dihina, apakah mereka terima? Dari sekian banyak manusia yang bisa dihina, mengapa harus Nabi Muhammad yang memiliki milyaran umat menjadi sasaran penghinaan? Sasaran karikatur, objek kartun, dan bahan lelucon lainnya?

Dalam sejarah, penghinaan terhadap Nabi sudah terjadi. Bahkan sejak beliau masih hidup. Penghinaan dengan berbagai macam bentuknya hanyalah sebuah alternatif pelampiasan kebencian yang berasal dari para pengecut berhati busuk kepada Nabi dan ajaran beliau. Mereka hendak menghancurkan ajaran beliau, namun karena tidak mampu mereka pun menempuh caranya para pecundang dengan cara melampiaskan kemarahan melalui penghinaan terhadap sosok pribadi beliau. Tentu tujuannya semata untuk menurunkan kemuliaan dan kehormatan beliau. Penghinaan atas keyakinan pada asalnya bukanlah perilaku bangsa yang berpendidikan dan berintelektual tinggi. Tetapi kebiasaan kaum yang bermartabat rendah dan tidak punya harga diri.  Karena itulah Allah melarang kaum mukmin menghina sesembahan atau berhala kaum musyrik. Sebab, menghina berhala mereka yang tidak ada nilainya sama sekali tidak memberi manfaat sedikit pun untuk Islam, di samping hal itu akan menurunkan wibawa umat Islam di depan mereka. Ini jugalah mengapa Allah berkali-kali memerintahkan Nabi agar bersabar ketika diolok-olok oleh musuh beliau dan tidak membalas mereka. Tetapi agar penghinaan itu terlihat terhormat, para pembenci itu membungkusnya dengan nama seni, kebebasan berekspresi, dan hak asasi manusia. Konyol bukan?!

Menghina Nabi sudah menjadi tradisi para pembenci Islam mulai zaman dahulu. Hal itu direkam oleh Al-Quranul Karim. Allah berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ .لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

“Dan andaikan kamu menanyai mereka, mereka pasti mengatakan: “Kami hanya sekedar bercanda dan bersenda gurau saja.” Katakanlah, “apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kalian jadikan bahan olok-olokan?!” Tak usah kalian minta maaf. Kalian sungguh telah kafir setelah kalian beriman. Jika kami memaafkan sebagian dari golongan kalian, niscaya Kami akan mengazab sebagian lainnya karena mereka dahulunya adalah pelaku dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66).

Abdullah bin Umar meriwayatkan terkait ayat ini: “Seorang lelaki dari kaum munafik berucap  kepada Auf bin Malik ketika perang Tabuk, “Para penghafal al-Quran kita ini adalah orang yang paling buncit perutnya, paling dusta lisannya, dan paling pengecut ketika bertemu musuh (mengisyaratkan pada Nabi dan para sahabat beliau).” Auf pun berkata kepadanya: “Engkau pendusta, karena engkau munafik! Akan aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah.” Ia pun pergi guna memberi tahu Rasulullah, namun  ayat al-Quran tersebut lebih dahulu turun. Ibnu Umar melanjutkan: “Aku melihat lelaki tersebut (si munafik) bergelantungan di pelana unta Rasulullah dan terseret terbentur dengan bebatuan. Ia mengatakan: “Kami tadi hanya bercanda dan bergurau saja!” Nabi pun menjawab: ““apakah Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kalian jadikan bahan olok-olokan?!” (HR. Ath-Thabari dalam Tafsirnya: 16911. Syaikh Ahmad Syakir mengatakan dalam Tahqiqnya XIV/333: “Sanad-sanadnya shahih).

Adakalanya penghinaan itu lebih menyakitkan dari peperangan. Rasulullah bisa mengampuni dan memaafkan seluruh penduduk Makkah yang dahulunya ikut andil memerangi beliau dan Islam, namun beliau tidak bisa memaafkan orang yang langsung mencela personal beliau. Nabi memaafkan seluruh penduduk Makkah, kecuali beberapa orang yang beliau minta agar dicari dan dibunuh yang diantaranya karena menghina beliau dengan syair-syair mereka. Ibnu Ishaq menceritakan: “Dan Abdullah bin Khathal yang berasal dari Bani Taim bin Ghalib….. serta kedua budak perempuannya yang bersenandung berisi hija (syair-syair penghinaan) kepada Rasulullah. Rasulullah memerintahkan untuk membunuh kedua budak itu sekaligus bersamanya.” ( Sirah Ibnu Hisyam II/409-410).

Rasulullah juga memerintahkan membunuh seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir yang pernah menghina beliau dengan syair-syairnya dan memacu pemberontakan kaum Yahudi atas beliau. Rasulullah bertanya: “Siapa yang mau berhadapan dengan Kaab bin Al-Asyraf? Sungguh ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah menjawab: “Apakah engkau suka jika aku membunuhnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya.” (HR. Al-Bukhari: 3031 dan Muslim: 1801 dari Jabir bin Abdillah).

Rasulullah juga tidak menindak sahabat yang membunuh seorang wanita Yahudi yang melakukan penghinaan kepada Rasulullah. Padahal Rasulullah amat benci dan melarang membunuh kaum wanita dan saat itu kaum Yahudi masih terikat perjanjian dengan kaum Yahudi di Madinah, maka jadilah wanita Yahudi tersebut kafir mu’ahad (kafir yang terikat perjanjian dengan umat Islam)[1]. Rasulullah sangat mengecam orang yang berani membunuh kafir mu’ahad. Beliau bersabda:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

“Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium baum surga, meski baunya dapat dicium sejauh perjalanan 40 tahun.” (HR. Al-Bukhari: 3166 dari Abdullah bin Amru). Namun ini tidak berlaku ketika orang tersebut melakukan penghinaan kepada Rasulullah.

Ali bin Abi Thalib mengisahkan: “Seorang wanita Yahudi pernah mencela Nabi dan menghina beliau. Seorang lelaki pun mencekiknya hingga ia mati. Rasulullah membatilkan (tidak menganggap) darahnya.” (HR. Abu Dawud: 4362. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaul Ghalil V/91 dan dihasankan oleh al-Arnauth dalam Tahqiq Sunan Abu Dawud VI/417).

Dari seluruh riwayat di atas, kita menemukan satu kesamaan. Baik kaum munafik, kaum kafir musyrik (penyembah berhala), maupun kaum kafir ahli kitab (seperti Yahudi) sama-sama melakukan penghinaan kepada Rasulullah karena dipadukan pada satu motif, yaitu kebencian terhadap Islam dan keagungannya. Kegeraman mereka terhadap Islam membuat mereka mebabi buta melecehkan Rasulullah. Seolah-olah tidak ada cara membendung kejayaan Islam selain dengan cara menghina beliau. Bukan hanya pada masa Nabi, pada masa para ulama mutaakhkhirin peristiwa serupa juga pernah terjadi.

Pada abad ke-8 Hijriyah terjadi penghinaan kepada Rasulullah hingga menyebabkan Ibnu Taymiyah menulis kitab “Ash-Sharimul Maslul ‘ala Sabbir Rasul” (Pedang yang terhunus atas Pencela Rasul). Saat itu pencelanya beragama Kristen dan bernama Assaf, berasal dari Suwaida. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dan Syaikh Zainuddin al-Faraqi mengadukan hal ini kepada gubernur saat itu. Namun karena masyarakat marah, tatkala kedua syaikh tersebut diminta mencari Assaf, masyarakat ikut serta bersama kedua syaikh tersebut dan masyarakat langsung melempar Assaf dengan batu yang pada saat itu dilindungi oleh seorang tokoh terkemuka bernama Ibnu Ahmad bin Hajji Alu Ali. Masyarakat melemparnya karena masyarakat lepas kontrol. Akibatnya Assaf terluka berat sebelum diadili, kemudian Ibnu Taymiyah dan al-Fariqi dihukum oleh gubernur dengan dicambuk dan dipenjara karena dianggap bertanggung jawab atas insiden tersebut. Selama dipenjara Ibnu Taymiyah menulis kitab tersebut sebagai bentuk perlawanannya terhadap para pencela Rasulullah. Lihat bagaimana gigihnya beliau terhadap orang yang berani menghinakan martabat Rasulullah. (Lihat Al-Bidayah wan Nihayah XIII/396).

Karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad ditampilkan menggunakan proyektor ke gedung pemerintahan di Prancis dengan mendapat penjagaan ketat dari polisi.

Tradisi penghinaan terhadap Rasulullah akan terus berlangsung. Sebab dengan cara seperti musuh-musuh Islam dapat melampiaskan kebenciannya. Jikalau dahulu penghinaan tersebut hanya dilakukan personal saja, maka sekarang kita lihat bahwa ternyata penghinaan tersebut difasilitasi oleh negara[2] dan didukung oleh mereka. Dangkalnya akal para penghina tersebut, membuat mereka tidak bisa dihadapi secara intelektual. Inilah yang membuat Nabi langsung meminta para sahabat membunuh orang yang mencela beliau, tanpa didahului dakwah dan nasehat peringatan, karena yang dapat membungkam mereka hanyalah ketegasan. Semoga Allah menghancurkan mereka. Wallahu a’lam bish shawab


[1] Istilah Kafir Mu’ahad hanya berlaku pada negara Islam atau negara yang menjadikan Syariat Islam sebagai konstitusi negara. Adapun istilah kafir mu’ahad maupun kafir dan konsekwensinya tidak bisa diterapkan pada negara yang bukan negara Islam.

[2] Dalam hal ini adalah Perancis.



Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia

Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *