Hukum Aqiqah
Fatan Abu Miqdam
Kita sering mendengar ada orang yang mengeluhkan: “Saya belum diaqiqahi oleh orang tua sewaktu masih kecil.” Bahkan sebagian ada yang sampai berhutang sana-sini hanya demi mengaqiqahi anak-anaknya dan memberat-beratkan dirinya (takalluf) hanya supaya bisa mengaqiqahi anaknya. Apakah hukumnya aqiqah sampai kita sedemikian takutnya jika belum diaqiqahi? Inilah yang kita bahas disini.
Terkait aqiqah, para ulama berbeda pandangan mengenai hukumnya.
Pertama, hukumnya sunnah (anjuran). Ini merupakan pandangan mayoritas ulama, yakni dari madzhab Maliki, Syafii, dan Hanbali, serta Ishaq bin Rahuyah.[1] Hujjah mayoritas ulama adalah dengan menggabungkan beberapa hadits berikut ini, yaitu sabda Nabi:
مَعَ الغُلاَمِ عَقِيقَةٌ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى
“Setiap anak diiringi aqiqah, maka alirkanlah darah (sembelihlah hewan) untuknya dan hilangkanlah kotoran darinya.” (HR. Al-Bukhari: 5471 dari Salman bin Amir adh-Dhobbay) dan hadits:
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ , وَيُسَمَّى , وَيُحْلَقُ رَأسُهُ
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelih untuknya pada hari ketujuh, ia diberi nama, dan dicukur kepalanya.” (HR. An-Nasai: 4220, Abu Dawud: 2837, At-Tirmidzi: 1522, dan Ibnu Majah: 3165 dari Samurah bin Jundab).
Hadits di atas bermakna perintah dan asalnya menunjukkan kewajiban. Namun derajat kewajibannya turun menjadi anjuran (sunnah) berdasarkan hadits Nabi ketika Nabi ditanya tentang aqiqah:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Barangsiapa yang diberikan anak, lalu ia suka menyembelih untuk anaknya tersebut, maka hendaklah ia menyembelih 2 ekor kambing yang sama besarnya untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan.” (HR. An-Nasai: 4212 dan Abu Dawud: 2842 dari Abdullah bin Amru).
Sebab hadits ini menjelaskan bahwa Nabi memberi pilihan bagi orang yang ingin beraqiqah. Jika seandainya aqiqah itu wajib, seharusnya Nabi tidak bersabda: “Barangsiapa yang diberikan anak lalu ia suka.” Sebab kewajiban itu tidak memperbolehkan adanya pilihan. Ini menunjukkan aqiqah itu hukumnya anjuran, tidak wajib menurut jumhur ulama.
Kedua, hukumnya wajib. Ini pendapatnya Madzhab Dzhahiri dan Laits.[2] Para ulama dari kalangan ini berdalil dengan hadits-hadits yang mengesankan adanya perintah –sebagaimana hadits di atas-, ditambah beberapa hadits yang secara jelas memerintahkan untuk aqiqah, diantaranya hadits dari Abdullah bin Amru, ia mengatakan:
أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِتَسْمِيَةِ الْمَوْلُودِ يَوْمَ سَابِعِهِ , وَوَضْعِ الْأَذَى عَنْهُ , وَالْعَقِّ
“Rasulullah memerintahkan agar memberi nama bayi di hari ketujuh, menghilangkan kotoran darinya, dan beraqiqah.” (HR. At-Tirmidzi: 2832). Begitu juga dengan ucapan Aisyah:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَعُقَّ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَيْنِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةً
“Kami diperintah oleh Rasulullah agar mengaqiqahi anak laki-laki dengan 2 ekor kambing dan anak perempuan dengan seekor kambing.” (HR. At-Tirmidzi: 1513 dan Ibnu Majah: 3163).
Hadits ini secara jelas menyebutkan adanya perintah Nabi untuk beraqiqah. Adapun hadits sebelumnya –yang dipakai oleh ulama-ulama yang menganggapnya sunnah-, ditafsirkan oleh para pemegang pendapat ini dengan menyebutkan bahwa hadits tersebut justru menjadi dalil bagi mereka. Sebab pilihan itu bagi orang tuanya, bukan untuk anak tersebut. Dalam artian si orang tua diberi pilihan apakah mau mengaqiqahi anaknya atau tidak, berbeda dengan si anak. Si anak tetap wajib mengaqiqahi dirinya sendiri andaikan orang tuanya tidak mengaqiqahinya. Karena yang diwajibkan aqiqah adalah dirinya, bukan orang tuanya. Hukum aqiqah itu menjadi sunnah atas orang tua, namun wajib atas si anak. Hukumnya sama seperti zakat fitrah.[3]
Ketiga, hukumnya tidak sunnah, namun disukai. Sebagiannya mengatakan hukumnya aqiqah adalah makruh. Ini merupakan pandangan madzhab Hanafi.[4] Para ulama ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Amru. Abdullah bin Amru mengatakan: “Rasulullah pernah ditanyai tentang aqiqah. Beliau pun bersabda:
لَا يُحِبُّ اللهُ الْعُقُوقَ
“Allah tidak menyukai uquq (pecahan kata aqiqah).” (HR. An-Nasai: 4212 dan Abu Dawud: 2842 dari Abdullah bin Amru).
Ditambah dengan riwayat yang diriwayatkan dari Nabi:
نَسَخَ الْأَضْحَى كُلَّ ذَبْحٍ , وَصَوْمُ رَمَضَانَ كُلَّ صَوْمٍ ,وَالْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ كُلَّ غُسْلٍ , وَالزَّكَاةُ كُلَّ صَدَقَةٍ
“Qurban menghapus seluruh ibadah sembelihan (selain qurban), puasa Ramadhan menghapus seluruh puasa (selain Ramadhan), mandi janabah menghapus seluruh mandi (selain janabah), dan zakat menghapus seluruh sedekah (selain zakat).” (HR. Al-Bayhaqi dalam al-Kubra: 19019 dan ad-Daruqtuhni: 4747 dari Ali bin Abi Thalib)[5].
Namun hadits di terakhir ini dilemahkan oleh para ulama hadits, termasuk al-Hafizh az-Zailai sendiri yang berasal dari madzhab Hanafi.[6]
Kesimpulan, yang benar adalah bahwa aqiqah hukumnya disyariatkan, bukan hanya sekedar kebiasaan disukai atau makruh. Sebab, Nabi sendiri mengamalkannya sebagaimana penuturan Ibnu Abbas:
عَقَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بِكَبْشَيْنِ كَبْشَيْنِ
“Rasulullah dahulu mengaqiqahi al-Hasan dan al-Husain dengan masing-maing 2 kambing.” (HR. An-Nasai: 4219)
Maka sisalah pendapat para ulama yang mewajibkan dan pendapat yang menganggapnya sunnah. Terlepas apakah hukumnya wajib atau sunnah, para ulama sepakat aqiqah itu disyariatkan atas orang yang mampu atau memiliki kelebihan harta di luar kebutuhannya sehari-hari. Dalam artian tidak diperkenankan untuk memberat-beratkan diri dalam mengaqiqahi anak jika memang belum mampu mengaqiqahinya. Bahkan bisa jatuh pada dosa jika ternyata nafkah sehari-hari tidak mencukupi hanya karena melaksanakan aqiqah. Sebab para ulama sepakat wajibnya mencukupi nafkah atas keluarga. Oleh sebab itu, tidak perlu berkeluh kesah jika belum mampu mengaqiqahi anak atau menyalahkan orang tua karena dahulu belum mampu mengaqiqahi dirinya. Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian…” (QS. At-Taghabun: 16)
Rasulullah juga bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa saja yang telah aku larang, maka jauhilah ia dan apa saja yang aku perintahkan, maka lakukanlah ia semampu kalian….” (HR. Al-Bukhari: 6777 dan Muslim: 1337 dari Abu Hurairah).
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Madzhab Maliki dalam Bidayatul Mujtahid III/14, Madzhab Syafii dalam Raudhatuth Thalibin III/229, Madzhab Hanbali dalam al-Mughny IX/461. Pendapat Ishaq dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid IV/312
[2] Madzhab Dzhahiri dalam al-Muhalla VI/234 dan pendapat Laits bin Sa’ad dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid IV/311
[3] Lihat pendalilan yang digunakan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla VI/241
[4] Al-Qudury dalam at-Tajrid XII/6356 menyebutkan bahwa aqiqah tidaklah sunnah, namun hanya sekedar kebiasaan yang disukai. Ini menunjukkan bahwa aqiqah itu akan berpahala jika dagingnya disedekahkan, jika tidak disedekahkan maka tidak berpahala. Al-Kasani dalam Badai’ V/127 secara tegas menyebutkan bahwa aqiqah hukumnya makruh.
[5] Hadits semisal juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya: 14046 secara mauquf dari Ali bin Abi Thalib. Jika haditsnya mauquf sampai Ali, maka sejatinya ini merupakan perkataan Ali, bukan Nabi. Namun sanad dari Abdurrazaq sendiri teerdapat rawi majhul. Sebab beliau menuturkan: “Aku mendengar seorang lelaki menceritakan hadits kepada Ma’mar, bahwa ia mengatakan….” tanpa diketahui identitas lelaki tersebut.
[6] Nashbur Rayah IV/208
Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia
Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)