Sunnahkah Puasa Pada 10 Hari Awal Dzulhijjah?

Fatan Abu Miqdam

Rukyatul Hilal Awal Dzulhijjah

Pertanyaan: “Apakah boleh dan disunnahkan puasa secara khusus pada 10 awal dzulhijjah?”

Jawaban: Pertanyaan semisal atau seperti wajar saja ditanyakan, mengingat adanya riwayat yang shahih dari Aisyah, Aisyah mengatakan:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah sedikit pun berpuasa pada 10 hari (dzulhijjah).” (HR. Muslim: 1176).

Apatah lagi, apabila kita fahami secara zhahir, jika disunnahkan puasa pada 10 hari awal dzulhijjah, berarti disunnahkan juga berpuasa ketika hari raya idul adha. Sebab idul adha dirayakan pada hari ke-10 dzulhijjah?!

Disisi lain, terdapat riwayat dari Rasulullah bahwa beliau melaksanakan puasa pada 10 hari awal dzulhijjah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Hafshah istri Nabi:

أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِيَامَ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَالْعَشْرَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَالرَّكْعَتَيْن قَبْلَ الْغَدَاةِ

“Ada 4 hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah: puasa di hari Asyura, dan (puasa) pada 10 hari (dzulhijjah), (puasa) 3 hari setiap bulan, dan 2 rakaat sebelum shalat shubuh.” (HR. An-Nasai dalam al-Kubra: 2737 dan Ahmad dalam al-Musnad: 26459).[1]

Dalam riwayat lain, diriwayatkan juga dari Hafshah dengan lafadz:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

“Rasulullah dahulu biasa puasa 9 hari di bulan Dzulhijjah, hari Asyura, dan 3 hari setiap bulan, yaitu hari senin di awal bulan dan 2 hari kamis setelahnya.” (HR. Abu Dawud: 2437 dan an-Nasai dalam al-Kubra: 2693. Ini lafazh Abu Dawud.)[2]

Kedua hadits di atas diperselisihkan keshahihannya oleh para ulama, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam catatan kaki. Baik redaksi yang menyebutkan 10 hari maupun 9 hari, sama-sama dipermasalahkan oleh para ulama hadits. Sementara hadits Aisyah yang menafikan puasanya Rasulullah pada 10 awal Dzulhijjah disepakati keshahihannya. Penafian Aisyah tersebut lebih kuat. Namun bukan berarti terlarang melaksanakan puasa di awal bulan Dzulhijjah hanya karena Aisyah menafikan Rasulullah berpuasa di dalamnya. Sebab berpuasa di awal bulan Dzulhijjah termasuk dari sabda Nabi yang sudah jelas keshahihannya:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ» يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ

“Tiada satu amal shaleh pun yang lebih dicintai Allah melebih (amal shaleh) di hari-hari ini.”, yaitu 10 awal Dzulhijjah…” (HR. Abu Dawud: 2438, at-Tirmidzi: 767, Ibnu Majah: 1727. Asalnya adalah terdapat dalam riwayat al-Bukhari: 969 dari Ibnu Abbas).

Puasa adalah termasuk diantara amal shalih yang dimaksud pada hadits tersebut. Adapun penafian Aisyah bermakna bahwa Nabi tidak berpuasa bukanlah bermakna larangan. Adakalanya Nabi menyampaikan suatu keutamaan kepada umat beliau namun beliau sendiri tidak melaksanakannya karena alasan tertentu[3] atau hendak mempermudah umat beliau dalam meneladani beliau, seperti sabda beliau tentang puasa Dawud sebagai sebaik-baik puasa tetapi beliau sendiri tidak pernah melaksanakannya dan mempersilahkan para shahabat yang mampu untuk melakukannya. Andaikan kita memegang lahiriyah hadits Aisyah di atas, tentu kita pun akan menafikan Nabi berpuasa di hari Arafah, padahal amat masyhur pengamalan dan anjuran beliau untuk melaksanakan puasa Arafah yang diamalkan pada setiap tanggal 9 Dzulhijjah. Karena itulah para ulama memahami hadits Aisyah di atas dipadukan dengan hadits Ibnu Abbas di atas.

Kesimpulan, puasa pada 10 hari awal Dzulhijjah adalah sunnah tanpa diragukan lagi dan termasuk amal shaleh paling agung yang Allah cintai. Meski beberapa hadits yang menerangkan pengamalan Nabi terhadap puasa pada saat itu diperselisihkan atau dilemahkan oleh para ulama, namun para ulama sendiri tetap menganjurkan puasa pada awal bulan Dzulhijjah dengan adanya hadits Ibnu Abbas di atas.[4]

An-Nawawi mengatakan: “Hadits Aisyah (yang menafikan puasa Nabi pada awal bulan Dzulhijjah) termasuk yang membuat sebagian orang beranggapan dibencinya puasa di awal bulan Dzulhijjah. Yang dimaksud 10 hari disini hakikatnya adalah 9 hari…. Bahkan puasa di awal bulan Dzulhijjah amat dianjurkan sekali, terutama di hari ke-9 yaitu hari Arafah….”[5]

Wallahu a’lam bish showab


[1] Hadits ini dishahihkan oleh Ibn Hibban dalam Shahihnya XIV/332, namun dilemahkan oleh al-Arnauth dalam Tahqiq Musnad Ahmad XLIV/59 dan al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil IV/111. Al-Albani juga menisbahkan pelemahan tersebut kepada az-Zailai dalam Nashbur-Royah.

[2] Ini juga diperselisihkan keshahihannya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud VII/196 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi dalam al-Muhadzdzab IV/1660. Dilemahkan oleh az-Zailai dalam Nashbur-Rayah II/157 dan al-Arnauth dalam Tahqiq Sunan Abu Dawud IV/101. Syaikh Bin Baz termasuk yang cenderung melemahkan hadits ini karena idhtirab, lihat Majmu Fatawa wa Maqalat Bin Baz XV/417.

[3] LIhat penjelasan Imam ath-Thahawi dalam Syarhu Musykilil Atsar VII/419 dan Abul Abaas al-Qurthubi dalam al-Mufhim II/253-254 mengenai hal ini.

[4] Ini diisyaratkan oleh Imam al-Bayhaqi dalam as-Sunan al-Kubra IV/471.

[5] Syarh Shahih Muslim VIII/71



Sudah tau mau Qurban dimana tahun ini?

Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
menyelenggarakan Pengumpulan, Pemrosesan dan Pendistribusian Qurban setiap tahunnya.
Info Selengkapnya hubungi (Telp/Wa) :
08 11111 0948
Ust Arofah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *