Memotong Kuku Dan Rambut Bagi Orang Yang Berqurban, Bolehkah?

Oleh: Fatan Abu Miqdam
Bulan dzulhijjah sebentar lagi, berbagai hadits tentang larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang berqurban pun berseliweran di media sosial. Bahkan ada yang sampai mewanti-wantinya. Bagaimanakah kedudukan hukumnya sebenarnya? Benarkah orang yang berqurban tidak boleh memotong kuku dan rambutnya apabila telah niat berqurban?
Larangan yang dimaksud adalah hadits dari Ummu Salamah:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَا
“Barangsiapa yang memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih, lalu telah terlihat hilal masuknya bulan dzulhijjah, maka janganlah ia memotong rambutnya dan kukunya sedikit pun hingga ia menyembelih (hewan tersebut).” (HR. Muslim: 1977)
Para ulama berbeda pandangan dalam menyikap larangan hadits ini:
Pertama, pendapat bahwa larangan tersebut bermakna haram. Sehingga orang yang berqurban berdosa jika memotong kuku dan rambutnya,[1]meskipun keharamannya tidak sampai mempengaruhi keabsahan qurbannya. Dalam artian, qurbannya tetap sah andaikan pun ia melanggar larangan pada hadits tersebut dan wajib beristighfar. Ini merupakan pendapat mayoritas madzhab Hanbali, Dzhahiriyah, Ishaq bin Rahuyah serta salah satu pendapat dalam madzhab Syafii.[2]Para ulama berdalil ini dengan hadits Ummu Salamah di atas dan ditambah dengan atsar dari Ibnu Umar:

مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang ingin haji (menyembelih hewan qurban)[3], maka janganlah ia memotong rambutnya sedikit pun.” (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya: 14773)
Abun Naja al-Hanbali mengatakan: “Dan diharamkan atas orang yang qurban memotong rambut dan kukunya walau sedikit pada 10 hari awal dzulhijjah.”[4]
Al-Mardawi al-Hanbali mengatakan: “Pertama, itu (memotong rambut dan kuku) adalah haram dan inilah madzhab (Hanbali). Ini merupakan zhahir riwayat Atsram dan lainnya….”[5]
Ibnu Hazm adz-Dzhahiri mengatakan: “Siapa saja yang hendak berqurban, maka diwajibkan atasnya apabila telah datang hilal dzulhijjah, agar sedikit pun tidak memotong rambutnya dan kukunya hingga ia melakukan penyembelihan…”[6]
Kedua, pendapat bahwa larangan tersebut bermakna makruh (dibenci), tidak sampai pada tahap haram.
Ini merupakan pendapat yang muktamad dalam madzhab Syafii, mayoritas madzhab Maliki, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanbali.[7]Para ulama ini memadukan antara hadits larangan di atas dengan hadits Aisyah:
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَبْعَثُ هَدْيَهُ إِلَى الكَعْبَةِ، فَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِمَّا حَلَّ لِلرِّجَالِ مِنْ أَهْلِهِ، حَتَّى يَرْجِعَ النَّاسُ
“Aku dahulu mengalungkan kalung di leher hadyu (hewan sembelihan) Rasulullah, lalu beliau mengirimkan hewan tersebut ke Kakbah (untuk disembelih). Tidak ada satu pun yang beliau haramkan atas kaum lelaki terhadap keluarganya sampai orang-orang pulang.”[8]
Pada hadits ini Aisyah menyebutkan tidak ada pelarangan sama sekali. Hadyu dan qurban hukumnya sama. Sebab, hadyu adalah istilah qurban yang disembelih oleh jamaah haji ketika idul adha di Mina. Hadits Ummu Salamah menyebutkan ada larangan, sedangkan hadits Aisyah justru sebaliknya yang menafikan adanya pelarangan. Maka para ulama ini memadukan kedua hadits tersebut dan menyebutkan bahwa larangan dalam hadits Ummu Salamah bermakna makruh, tidak sampai tahap haram.
An-Nawawi asy-Syafii mengatakan: “Para penganut madzhab kami (Syafiiyah) mengatakan, siapa yang hendak berqurban lalu tiba 10 hari awal dzulhijjah, dimakruhkan baginya sedikit pun memotong kukunya dan menghilangkan sedikit pun dari rambut kepalanya, bulu wajahnya, dan bulu di badannya.”[9]
Ar-Rafii asy-Syafii mengatakan: “Dianjurkan bagi yang hendak berqurban agar tidak menghilangkan sedikit pun rambut dan kukunya pada 10 awal dzulhijjah hingga ia menyembelih…”[10]
Abul Barakat al-Hanbali mengatakan: “Dimakruhkan bagi yang hendak berqurban untuk mengambil sedikit saja rambut atau (bulu) kulitnya setelah masuknya 10 awal dzulhijjah…”[11]
Al-Qarafi al-Maliki menukil dari Ibnul Qashshar al-Maliki: “Dianjurkan bagi yang hendak berqurban agar tidak memotong rambut dan kukunya apabila telah terlihat hilal (masuknya) dzulhijjah hingga ia menyembelih….”[12]
Al-Gharnathy al-Maliki mengatakan: “Menurut riwayat al-Baji dari Malik dan al-Maziri dari riwayat al-Abhari dan Ibnul Qashshar, bahwa dianjurkan bagi yang hendak berqurban apabila telah terlihat hilal (masuknya) dzulhijjah agar tidak memangkas rambutnya dan memotong kukunya hingga ia menyembelih. Keduanya (al-Abhari dan Ibnul-Qashhar) menambahkan: “Dan tidak sampai diharamkan atasnya…”[13]
Ketiga, tidak ada larangan sama sekali, yaitu boleh memotong kuku, rambut, dan bulu apa pun di badan bagi orang yang berqurban.
Ini merupakan pendapat yang muktamad dalam madzhab Hanafi, salah satu pendapat dalam madzhab Maliki, dan dicenderungi oleh Laits bin Sa’ad.[14]Para ulama ini menyebutkan bahwa hadits Aisyah lebih kuat dan disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ummu Salamah yang memuat larangan mengandung kelemahan, serta diperselisihkan pengamalan dan keshahihannya.
Al-Qudrawi al-Hanafi mengatakan: “Para penganut madzhab kami (Hanafiyah) menyatakan: “Apabila telah masuk 10 awal dzulhijjah dan seseorang hendak menyembelih qurbannya atau membeli hewan qurban, maka ia tidak perlu khawatir untuk mencukur rambut dan memotong kukunya.”[15]
Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi mengatakan: “Kandungan riwayat hadits Aisyah lebih baik daripada kandungan riwayat hadits Ummu Salamah. Sebab hadits Aisyah diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadits Ummu Salamah tidak demikian. Bahkan terdapat cela pada sanad hadits (Ummu Salamah) dari jalur Malik, yaitu diriwayatkan bahwa haditsnya mauquf hanya ucapan Ummu Salamah[16] (bukan ucapan Nabi)….. Ini dari sisi pendalilan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad (bin al-Hasan)…”[17]
Ibnu Abdil Barr al-Maliki mengatakan: “… Dan menurut madzhab Malik bahwa tidak mengapa mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan mencukur kumis pada bulan dzulhijjah dan ini merupakan pendapat seluruh ahli fiqh di Madinah dan Kufah…”[18]
Keempat, apabila ia memiliki hewan qurban sebelum masuk 10 awal bulan dzulhijjah maka tidak mengapa ia memotong rambut dan kukunya meski jika telah masuk bulan dzulhijjah. Jika ia memilikinya setelah masuk 10 dzulhijjah, maka ia tidak boleh memotong rambut dan kukunya.
Ini merupakan pendapat al-Imam al-Auzai. Namun hingga kini kami belum mendapatkan dasar pendapat ini. Ini disebutkan oleh al-Allamah Ibnu Abdil Barr.[19]Mungkin al-Auzai menakwil hadits Aisyah untuk qurban sebelum masuk bulan dzulhijjah, sedangkan hadits Ummu Salamah apabila telah masuk dzulhijjah. Wallahu a’lam
Kesimpulan, yang paling
aman dan selamat dalam hal ini adalah agar menjauhi memotong rambut dan kuku
serta bulu-bulu di tubuh bagi orang yang berqurban agar dapat terhindar dari
perselisihan para ulama. Sebab jika dilanggar, maka akan bertentangan dengan
pendapat pertama dan kedua. Namun jika dijauhi, tidak akan bertentangan dengan
pendapat ketiga sama sekali. Meskipun demikian kita tidak boleh mencela orang
yang tetap ingin memotong rambut dan kukunya padahal ia hendak berqurban. Wallahu
a’lam bish shawab
[1] Termasuk bulu-bulu lainnya di tubuhnya seperti kumis, bulu ketiak, bulu kemaluan, dan lainnya.
[2] Lihat madzhab Hanbali dalam al-Inshaf IV/109, al-Mughni IX/436-437 dan Dzahiriyah dalam al-Muhalla III/6. Pendapat Ishaq disebutkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya III/154. Adapun dalam madzhab Syafii, an-Nawawi mengatakan dalam al-Majmu’ VIII/391: “Pendapat ini dinukil oleh Abul Hasan al-Abbadi…” Namun ini pendapat yang lemah dalam madzhab Syafii.
[3] Adakalanya penyembelihan hewan qurban disebut dengan istilah haji oleh para shahabat karena waktu qurban mengikuti waktu haji dan penyembelihan qurban termasuk dari rangkaian puncak ibadah haji.
[4] Zadul Mustaqni’ I/96
[5] Al-Inshaf IV/109
[6] Al-Muhalla III/6
[7] Lihat madzhab Syafii dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VIII/391, asy-Syarhul Kabir XII/90. Madzhab Maliki dalam al-Qawaninul Fiqhiyyah I/128, Mukhtashar al-Khalil I/81 Madzhab Hanbali oleh Abul Khaththab al-Hanbali dalam al-Hidayah ‘ala Madzhabil Imam Ahmad I/206 dan Abul Barakat al-Hanbali dalam al-Muharrar fil Fiqh I/251.
[8] HR. Al-Bukhari: 5566 dan Muslim: 1321
[9] Al-Majmu’ VIII/391
[10] Al-Muharrar: 466
[11] Al-Muharrar fil Fiqh I/251
[12] Adz-Dzakhirah IV/141
[13] At-Taju wal Iklil IV/372
[14] Madzhab Hanafi dalam at-Tajrid XII/6344, Syarh Ma’ani al-Atsar IV/182. Madzhab Maliki dan pendapat al-Laist dalam at-Tamhid XVII/235.
[15] At-Tajrid XII/6344.
[16] Diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf: 14478
[17] Syarhu Ma’anil Atsar IV/182
[18] At-Tamhid li ma fil Muwaththa XVII/235
[19] Lihat At-Tamhid li ma fil Muwaththa XVII/235
Sudah tau mau Qurban dimana tahun ini?
Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
menyelenggarakan Pengumpulan, Pemrosesan dan Pendistribusian Qurban setiap tahunnya.
Info Selengkapnya hubungi (Telp/Wa) :
08 11111 0948
Ust Arofah