Hukum Berkurban Untuk Orang Yang Telah Wafat Secara Khusus

Oleh: Fatan Abu Miqdam

Muncul pertanyaan berkenaan berqurban atas nama orang yang telah wafat atau untuk orang meninggal, bolehkah atau tidak? Sahkah atau tidak? Ini tidak lepas karena keutamaan qurban itu sendiri. Qurban atas nama orang yang meninggal menjadi menarik dipertanyakan karena sifatnya yang menjadi bagian ibadah harta, sebab hasil dari qurban itu sendiri akan disedekahkan, sementara para ulama sepakat sedekah atas nama orang meninggal atau untuk orang yang meninggal itu boleh dan sampai. Disisi lain, berqurban secara khusus atas nama orang yang telah wafat tidak pernah diamalkan sedikit pun oleh Rasulullah dan para shahabat, ditambah lagi bahwa qurban juga termasuk ibadah badaniyah karena adanya penyembelihan dan tuntutan bagi orang yang berqurban agar tidak memotong kuku, bulu, dan rambut dari tubuhnya jika hendak berqurban. Maka bagaimanakah kita mendudukan masalah ini?!

Jikalau berqurban dengan mendoakan agar pahalanya juga disampaikan kepada orang yang wafat atau diberikan kepada kaum kerabat, atau keluarga secara umum tanpa membedakan antara yang hidup dan yang telah wafat, atau bersekutu dalam pahala, maka ini disyariatkan dan mayit akan mendapatkan bagian dari pahala qurban tersebut. Ini merupakan pandangan mayoritas ulama[1] dan pernah dipraktikkan oleh Rasulullah. Rasulullah mengatakan ketika akan menyembelih hewan qurban:

بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

“Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (qurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad.” (HR. Muslim: 1967 dari Aisyah binti Abu Bakr). Ini dikuatkan dengan penuturan shahabat Abu Ayyub al-Anshari:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Dahulu lelaki (di masa Nabi) biasa berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya sekaligus untuk keluarganya. Lalu mereka memakannya dan membagikannya.” (HR. At-Tirmidzi: 1505. At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih.”)

Namun apabila qurban dilaksanakan khusus untuk orang yang telah wafat atau atas nama orang yang telah wafat, maka terdapat khilaf di kalangan para ulama. Ini telah diisyaratkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam Sunan beliau: “Sebagian ahli ilmu memperbolehkan berqurban untuk mayit, sedangkan sebagian ahli ilmu lagi tidak memandangnya boleh.”[2]

 Pendapat pertama memperbolehkannya. Ini merupakan pandangan madzhab Hanafi dan madzhab Hanbali. Ini yang dipilih oleh al-Allamah ash-Shan’ani[3]. Para ulama ini beralasan dengan keumuman ucapan Nabi sebelum menyembelih hewan di atas.

Al-Kasani al-Hanafi mengatakan: “Al-Kasani mengatakan: “Menurut qiyas apabila seseorang telah wafat, maka telah gugur ibadah qurban darinya dan jika si pewaris mengurbankan untuknya, tidak akan sah. Makanya qurban untuk orang meninggal tidak dibolehkan. Dan dari sisi istihsan, kematian tidak menghalangi seorang mayit untuk mendekatkan diri kepada Allah berdasarkan dalil bolehnya orang lain bersedekah atas namanya dan menghajikannya, dan telah shahih dari Rasulullah bahwa beliau berqurban dengan 2 ekor kambing yang salah satunya untuk beliau dan satunya lagi untuk umat beliau–mencakup umat beliau yang telah wafat sebelum idul adha-….”[4]

 Ibnu Abidin al-Hanafi mengatakan: “Barangsiapa yang berqurban untuk mayit, hendaknya ia melakukan hal yang sama layaknya ia memperlakukan qurbannya sendiri, baik dalam menyedekahkan dagingnya dan memakannya, sementara pahalanya bagi mayit dan kepemilikan hewan bagi si pengurban.”[5] Meskipun madzhab Hanafi sendiri mengakui adanya pertentangan antara qiyas dengan istihsan dalam hal ini dalam madzhab mereka.

Sedangkan dalam mazhab Hanbali, Abun-Naja al-Hanbali mengatakan: “Qurban dahulunya diwajibkan atas Nabi dan (disunnahkan) menyembelihnya sendiri, dan termasuk menyembelihnya untuk orang yang telah wafat.”[6]

Ibn an-Najjar al-Hanbali mengatakan: “Qurban hukumnya sunnah muakkadah dari seorang muslim yang (mampu) memiliki hewan qurban atau seorang budak yang diizinkan oleh tuannya, lebih utama jika dilakukan untuk orang yang telah wafat dan qurbannya diperlakukan sebagaimana jika berasal dari orang hidup.”[7]

Tidak hanya itu, bahkan madzhab Hambali lebih jauh menyebutkan lebih afdhol jika qurban diberikan orang yang telah wafat. Ar-Ruhaibani al-Hanbali mengatakan: “Berqurban atas untuk orang yang telah wafat lebih utama daripada untuk orang yang masih hidup, karena si mayit tidak mampu lagi beramal padahal ia amat butuh dengan pahala…”[8]

Pendapat kedua dilarang. Ini merupakan pendapat yang muktamad dalam madzhab Syafii, juga madzhab Maliki. Ini yang dicenderungi oleh al-Allamah Ibnul Utsaimin.[9] Hanya saja, madzhab Maliki memperbolehkan untuk menyembelih bagi orang yang telah wafat apabila sebelum wafat orang tersebut telah mempersiapkan qurbannya, jika tidak, maka terlarang (makruh).

Ar-Rafii asy-Syafii mengatakan: “Tidak boleh berqurban atas nama orang lain tanpa izin darinya, demikian juga untuk orang yang telah wafat kecuali jika ia mewasiatkannya.”[10]

An-Nawawi asy-Syafii mengatakan: “Tidak sah berqurban atas nama orang lain tanpa seizinnya, demikian juga untuk orang yang telah wafat jika ia tidak mewasiatkannya.”[11]

Imam Malik mengatakan: “Aku tidak suka jika ada orang yang berqurban atas nama kedua orang tuanya yang telah wafat.”[12]

Al-Haththab al-Maliki mengatakan: “Dibencinya berqurban untuk orang meninggal karena hal itu tidak pernah diriwayatkan dari Nabi (pengamalannya) dan tidak ada seorang salaf pun yang melakukannya…. Namun ini berlaku jika mayit dari awal tidak mempersiapkan qurbannya. Jika ternyata ia telah mempersiapkan qurban, maka dianjurkan kepada ahli warisnya untuk tetap melanjutkan penyembelihan qurban si mayit jika si mayit wafat sebelum ia sempat berqurban.”[13]

            Para ulama sepakat boleh dan sah berqurban untuk orang yang telah wafat jika sedari awal ia telah mewasiatkannya. Demikian jika si mayit menazarkannya namun tidak sempat menunaikannya.[14] Para ulama hanya berselisih jika tidak ada wasiat atau nazar sama sekali. Mayoritas ulama memperbolehkan bersekutu dalam hal pahala ketika berqurban tanpa ada pengkhususan bagi yang telah wafat. Para ulama hanya berselisih pandangan jika ada pengkhususan bagi orang yang telah wafat, karena asalnya qurban adalah ibadah untuk orang yang masih hidup. Menghindari berqurban untuk orang yang telah wafat secara khusus lebih utama, menimbang tidak adanya salaf pun yang melakukannya, tidak dilaksanakan oleh Rasulullah, dan keluar dari perselisihan para ulama. Terlebih madzhab Syafii yang menjadi anutan mayoritas penduduk Indonesia juga melarang dan menyatakan ketidak absahannya. Namun kita berharap bagi yang tetap melakukannya mudah-mudahan pahalanya tetap sampai kepada orang meninggal yang dituju. Wallohu a’lam


[1] Lihat penjelasan an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim XIII/122

[2] Al-Jami’ul Kabir Sunanut Tirmidzi III/136

[3] Subulus Salam II/531

[4] Badai’ush Shanai’ V/72

[5] Raddul Mukhtar VI/326

[6] Al-Iqna’ I/408

[7] Muntahal Iradat II/196

[8] Mathalib Ulin-Nuha II/472

[9] Asy-Syarhul Mumti’ VII/479-480

[10] Al-Muharrar: 467

[11] Minhajuth Thalibin I/321

[12] Dinukil oleh Abul Walid Ibnu Rusyd dalam al-Muntaqa Syarhul Muwaththa III/100

[13] Mawahibul Jalil III/248

[14] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah V/106

Sudah tau mau Qurban dimana tahun ini?

Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
menyelenggarakan Pengumpulan, Pemrosesan dan Pendistribusian Qurban setiap tahunnya.
Info Selengkapnya hubungi (Telp/Wa) :
08 11111 0948
Ust Arofah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *