Asy-Syafii, Si Yatim Yang Mengukir Nama Di Lautan Ilmu Part. I

Siapa yang tidak kenal imam asy-Syafii? Madzhab beliau merupakan madzhab Islam mayoritas yang dianut oleh umat Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Beliau adalah seorang ahli fiqh sekaligus ahli hadits yang menjadi pembela terhadap sunnah Rasulullah dan hal itu telah diakui oleh para ulama di zamannya. Qutaybah bin Said mengatakan: “Ats-Tsauri wafat, matilah sifat wara’. Asy-Syafii wafat, maka matilah sunnah-sunnah (Rasulullah). Apabila Ahmad bin Hanbal wafat, saat itulah berbagai kesesatan akan merebak.” (Ibnu Katsir dalam Thabaqatisy Syafi’iyyin, Bab Fi Dzikiri Fadhoilihi).

Namun siapa sangka, nasib kecilnya imam asy-Syafii bukan seperti anak-anak di zaman beliau. Beliau lahir dalam keadaan yatim dan keluarga yang miskin. Syaikh Muhammad Abu Zahrah mengatakan: “Berbagai riwayat tentang beliau (asy-Syafii) sepakat menyebutkan bahwa beliau tumbuh sebagai anak yatim yang fakir.” (Abu Zahrah dalam Asy-Syafii wa Hayatuhu: 17). Ayah beliau sudah wafat sejak beliau masih kecil. Perlu diketahui, bahwa Imam asy-Syafii lahir di Gaza menurut mayoritas ulama sejarah Islam.  Meski ada yang menyebut beliau lahir Asqalan, atau Yaman. Baik Gaza maupun Asqalan sekarang masuk dalam wilayah Palestina. (Abu Zahrah dalam Asy-Syafii wa Hayatuhu: 14-17)

Meski Imam asy-Syafii hidup dalam keadaan yatim dan miskin, namun beliau memiliki nasab yang tinggi. Asy-Syafii sendiri asalnya adalah panggilan untuk beliau, bukan nama asli beliau. Disebut asy-Syafii karena beliau memiliki kakek bernama Syafi’ yang dari sanalah nasab beliau memiliki persinambungan dengan nasab Rasulullah. Nama beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah. Nasab beliau dengan Rasulullah bertemu pada Abdu Manaf. Abdu Manaf dahulunya punya 4 anak, yaitu Hasyim (kakek buyut Nabi), Muthalib (moyang asy-Syafii), Abdusy-Syams (kakek buyut Utsman bin Affan), dan Naufal (kakek Jubair bin Muth’im).

Jadi, Al-Muthalib adalah saudara kakek buyut Nabi yang bernama Hasyim. Al-Muthalib inilah dahulunya yang mengasuh Abdul Muthalib (kakek Nabi) ketika kecil karena Hasyim telah wafat ketika Abdul Muthalib belum lahir. Nama asli Abdul Muthalib sendiri adalah Syaibah. Maka, asy-Syafii merupakan orang Quraisy asli dan berasal dari keluarga Nabi Muhammad.

Imam asy-Syafii mengisahkan kisah keyatiman beliau: “Aku dahulu yatim di bawah pengasuhan ibuku dan ibuku tidak punya apa-apa untuk membayar seorang guru. Namun ada seorang guru yang rela mengajariku (tanpa dibayar) secara khusus apabila ia selesai mengajar murid yang lain. Setelah aku menyelesaikan hafalan al-Quran dan mulai masuk masjid, aku pun mulai bermajlis dengan para ulama serta menghafal hadits dan beberapa masalah hukum.” (Ibnu Abi Hatim dalam Adabusy-Syafii I/20)

Beliau melanjutkan: “Aku menuntut ilmu dari belas kasihan orang lain….Aku terpaksa harus mengambil tulang-belulang dan menulis di atasnya, hingga rumahku penuh dengan tumpukan tulang-belulang tersebut.” (Ibnu Abi Hatim dalam Adabusy-Syafii I/20-21). Perlu dicatat bahwa pada saat itu, peradaban Islam sudah mengenal penulisan menggunakan kertas yang terbuat dari kulit hewan secara khusus. Penggunaan Imam asy-Syafii terhadap tulang belulang tersebut karena beliau tidak memiliki apa pun untuk membeli gulungan kertas. Asy-Syafii mengisahkan: “Ibuku tidak memiliki apa-apa yang bisa aku gunakan untuk membeli kertas. Aku pun melihat bekas tulang belulang hewan, aku pun mengambilnya dan menulis di atasnya…” (Al-Bayhaqi dalam Manaqibusy-Syafii I/92).

Imam asy-Syafii lahir tahun 150 H, di tahun wafatnya Imam Abu Hanifah an-Nu’man. Pada usia 2 tahun, beliau dibawa oleh ibu beliau ke Asqalan, lalu usia 10 tahun beliau pindah dengan ibunya ke Makkah. Beliau dibawa ke Makkah agar ketersambungan nasab beliau dengan kaum Quraisy tidak terputus. (Al-Bayhaqi dalam Manaqibusy Syafii Bab Ma Ja-a fii Maulidisy Syafii). Beliau hafal al-Quran secara keseluruhan di usia 7 tahun dan hafal seluruh isi kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik di usia 10 tahun. Asy-Syafii mengatakan: “Aku telah hafal al-Quran waktu aku berusia 7 tahun dan aku telah hafal al-Muwaththa ketika ku berusia 10 tahun.” (Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhu Baghdad II/392). Bersambung

Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia

Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *