Ikatan, sebuah refleksi simpul hati

Dahulu ketika masih kecil dan ingin ikut bapak pergi ke tempat jauh dengan sepeda ontelnya, kaki kami diikat ke bagian depan-bawah sepeda yang menghubungkan sadel jok agar kaki kecil kami tidak masuk ke terali bannya. Mengenang momen seperti ini tentunya banyak di antara kita yang pernah mengalami. Ada yang dililitkan kain sarung di pinggangnya dan diikat ke pinggang bapak. Ini dilakukan guna mengantisipasi jika anaknya mengantuk, agar badannya tidak terjatuh ke belakang atau ke samping.

Ikatan-ikatan kuat itu kadang meninggalkan bekas yang tidak nyaman, kaki jadi merah, dan terasa sedikit kesemutan. Tapi, ikatan itu ibarat safety belt di mobil, sama sekali bukan maksudnya untuk mengekang, melainkan untuk melindungi.

Dalam kehidupan ini, banyak ikatan yang seumpama dengan kondisi yang digambarkan di atas, namun bagi sebagian orang yang pandangan sempit, kadang menganggap bahwa ikatan itu justru mengekang, bikin nyeri, membatasi. Padahal ia ada sebagai wujud kasih sayang dan upaya perlindungan buat kita. Seperti itu pulalah aturan yang ketat di pondok pesantren, saat melazimkan kita tinggal di dalam lingkungan, tidak boleh bermain gadget, tidak boleh keluar kecuali di saat liburan saja, harus kembali tepat waktu, dan sebagainya. Ia juga seumpama aturan dari orangtua yang super ketat, berhijab dengan hijab lebar, keluar rumah harus dengan izin dan pengawasan mereka.

Nah, terkadang, ada saja di antara kita yang pastinya pernah dapat ejekan dari temannya, ikhwan dianggap anak rumahan karena jarang keluar rumah, tidak gaul, lembeklah, dan sebagainya. Kalau akhwat mungkin dianggap mirip emak-emak oleh temannya karena hijab lebarnya selalu menempel, atau ejekan beragam lainnya. Tak jarang ejekan ini mampu memberikan bekas, pengaruh pada seseorang.

Baca juga: SUSAH AKUR

Ikatan-ikatan itu kemudian dianggap sebagai bentuk pembatasan gerak, pengekangan, bahkan kebencian. Walhasil, betapa banyak orang yang kehidupannya berubah secara drastis, ikhwah-akhwat polos dan terjaga itu akhirnya malah berpandangan sempit dan muncul ketidaksabaran ditambah dengan pengaruh circle toxic, akhirnya berhasil mengubah pandangannya. Hal yang bertahun-tahun ia dan orangtuanya jaga, kini ia tanggalkan begitu saja. Anak muda shalih yang dahulu terbiasa berpakaian sesuai sunnah, lantas memanjangkan kain celananya melebihi batas mata kaki (isbal), yang tak pernah pegang rokok sekarang tiap hari merokok, yang tidak pernah memetik senar gitar, kini ia tidur bahkan dengan gitarnya, keluyuran hingga larut malam, dan melalaikan salatnya. Yang akhwat pun demikian, beralih ke tren mengenakan hijab mini, bahkan sesekali dilepas agar tak dijauhi dan bisa tetap berada di dalam lingkaran pertemanannya. La hawla wa la quwwata illa billah.

Mari kita kembali renungkan, barangkali kita telah lalai dari mensyukuri nikmat Allah dengan melihat sisi positif ikatan-ikatan ini, lingkungan yang baik, dengan aturan dan orang-orang yang senantiasa mengarahkan kepada kebaikan, mereka mengikat kita bukan untuk mengekang, melainkan sebagai rasa kasih dan sayang mereka agar kehidupan kita terarah, dan tidak rusak oleh pergaulan bebas di luar sana yang telah memakan banyak korban. Dan berhati-hatilah dalam memilih teman bergaul!

Nabi bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخْالِلُ

“Seseorang di atas agama sahabatnya, maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang hendak ia jadikan sahabatnya.”

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kita lingkungan yang baik serta sahabat-sahabat yang salih, yang dengan mereka surga terasa dekat.

Muhammad bin Wasi’ mengatakan:
“Di dunia ini, tidak ada lagi hal menyenangkan yang tersisa kecuali salat berjamaah dan berkumpul bersama saudara seiman.”

Manggala, 5 Syawal.

Penulis: Rusdy Qosim

Editor: Faisal Mursila

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *