Resepsi Pernikahan Paling Buruk
Fatan Abu Miqdam
Pernikahan adalah fitrah bagi setiap insan. Suatu momen yang akan selalu dinantikan. Terlebih bagi kedua sejoli yang telah dipertemukan. Dalam satu mahligai yang kelak dikenang sepanjang zaman. Maka hal wajar jika permulaannya diabadikan. Dalam bentuk euforia pesta kebahagiaan. Dibumbui dengan berbagai ucapan selamat dan hadiah dari handai taulan. Sebagai tanda restu dan dukungan, untuk melangkah dengan komitmen dan ikatan, agar kiranya tetap bersanding dalam taburan cinta dan perjuangan, dalam menapaki hidup di masa depan.
Akan tetapi setan tetaplah setan. Ia akan berusaha merusak momen pernikahan. Terlepas sadar tidak sadarnya para pengunjung dan undangan. Khususnya bagi mereka yang sedang diselimuti kesenangan. Mulai dari berbagai maksiat yang didendangkan, aib fulan dan si fulan dibicarakan, hingga pamer jabatan dan kekayaan. Seharusnya momen pernikahan mengundang keindahaan dan keberkahan, justru berubah menjadi momen yang mengundang kemurkaan.
Tidak jarang kita menemukan pesta pernikahan yang penuh dengan kemewahan. Sengaja diekspos sana sini hanya untuk menaikkan derajat dan kedudukan. Apatah lagi jika yang menikah itu adalah artis yang penuh dengan kemasyhuran. Islam menganjurkan untuk mengadakan walimahan atau resepsi pernikahan, bukanlah semata untuk melampiaskan kebahagiaan, apatah lagi sebagai ajang berlomba untuk saling adu kehebatan dan prestasi keduniawian. Akan tetapi, Resepsi tersebut diadakan sebagai momen berbagi kepada sesama dan orang yang membutuhkan. Sebagian orang yang memang berbatin Firaun dan bergelimang kesombongan, sering menjadikan momen ini untuk mempertontonkan keangkuhan dengan sengaja mengundang orang-orang kaya dan yang berkedudukan dan meminggirkan orang-orang yang menurut mereka tidaklah mapan. Terlebih jika orang-orang yang hadir adalah para undangan yang terkenal dengan kekayaan. Abu Hurairah pernah berkata terkait manusia-manusia pecundang akhir zaman ini:
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الفُقَرَاءُ
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan di resepsi pernikahan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya dan meninggalkan (tidak mengundang) fakir miskin.” (HR. Al-Bukhari: 5177 dan Muslim: 1432).
Meski ini hanya ucapan Abu Hurairah, namun maknanya marfu’ kepada Rasulullah sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam An-Nawawi. Imam An-Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah sebagai respon terhadap kondisi yang terjadi pada masyarakat setelah Rasulullah yang lebih mengutamakan orang-orang kaya dan semisalnya dalam berbagai walimah, mengistimewakan mereka dalam hal undangan, mendahulukan mereka dalam hal hidangan yang enak-enak, mementingkan pertemuan dan penjamuan terhadap mereka dan lain sebagainya sebagaimana yang biasa terjadi di banyak resepsi pernikahan…” (Syarh Shahih Muslim IX/237)
Jikalau pada masa shahabat saja hal ini sudah terjadi, tentu kita tidak perlu heran jika terjadi di masa kita. Hanya saja tinggal kita, akankah kita menjadikan momen pernikahan kita sebagai pernikahan terburuk atau justru menjadikannya sebagai pernikahan terbaik dengan tidak membeda-bedakan antara undangan yang miskin dan yang kaya atau dengan mengutamakan undangan yang miskin. Sebab, segala yang baik haruslah dimulai dengan sesuatu yang baik. Bagaimana pernikahan akan baik dan langgeng jika dimulai dengan permulaan yang buruk?! Semoga Allah merusak pernikahan yang membeda-bedakan perlakuan kepada undangan karena status sosial dan ekonominya.
Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia
Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)