Pembebasan Al-Aqsha dan Pelajaran Bagi Umat Islam
Fatan Abu Miqdam
Tepat pada malam 27 Rajab, Shalahuddin masuk Masjidil Aqsha sebagai bukti perpindahan penguasaan Al-Quds ke tangan umat Islam setelah dirampas dengan cara yang amat biadab oleh pasukan Salib selama kurang lebih 90 tahun, demikian sejarah mencatat. Panglima yang bernama asli Yusuf bin Najmuddin Ayyub ini dengan heroiknya berhasil menundukkan musuh-musuh Islam dan mempermalukan mereka dengan akhlaknya yang mulia, usai berdarah-darah menghadapi puncak kekuatan bangsa Eropa di Syam pada perang Hittin 9 abad yang lalu, di mana beliau dengan kearifannya memaafkan seluruh pasukan Salib yang tersisa dan membiarkan mereka pulang ke negerinya masing-masing hingga membekali mereka. Ini berbanding terbalik dengan perlakuan tentara Salib atas penduduk Baitul Maqdis yang mereka bantai secara kejam dan bengis di awal mereka mendudukan Al-Quds dan Syam secara umum. Napak tilas yang gemilang ini semua tercantum dalam lembaran berbagai literatur sejarah dan diakui baik oleh sejarawan Islam maupun Eropa.
Kembalinya Masjid yang menjadi saksi akan mikrajnya Nabi ke langit tersebut tentu adalah sebuah nikmat yang tak terbantahkan. Bahkan hal tersebut masih terus diceritakan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Permasalahannya, apakah umat Islam hari ini dapat belajar dan mengambil faidah dari seluruh kejadian tersebut? Jangan sampai sejarah itu hanya sekedar euphoria saja tanpa mampu diraih kembali dan dipertahankan. Faktanya, penjajahan untuk kedua kalinya ternyata menghinggapi Al-Quds dan Masjidil Aqsha dan itu terjadi di masa kita ini. Bedanya, jika di masa Shalahuddin penjajahan itu dilakukan oleh bangsa Eropa dengan konsolidasi yang kuat di antara mereka, adapun hari ini penjajahan itu dilakukan oleh bangsa yang jumlahnya terbilang amat sedikit dibanding dengan jumlah umat Islam di seluruh dunia. Sederhananya, dahulu Al-Quds bisa dijajah didorong dengan kekuatan militer yang kuat dan besar karena hasil gabungan dari militer beberapa kerajaan Katolik Eropa, sekarang Al-Quds dijajah oleh bangsa pengecut dengan kekuatan militer yang tidak ada apa-apanya sama sekali. Andai satu saja kekuatan militer dari sekian negeri muslim di dunia diadu face to face dengan kekuatan militer entitas yang biadab ini, niscaya mereka akan hancur lebur dan lari tunggang langgang hanya dengan hitungan hari. Ironisnya, justru Baitul Maqdis hingga hari ini masih dalam genggaman mereka hampir 70 tahun lamanya. Di manakah umat Islam?!
Jika kita memerhatikan secara seksama pembebasan yang dilakukan oleh Shalahuddin terhadap Masjidil Aqsha, pasti kita menemukan bahwa seluruh pembebasan itu tidak terjadi secara instan. Sudah selayaknya kita tidak terpaku pada sosok Shalahuddin saja secara personal, tetapi bisa kita fokuskan pada kepribadian dan cara pandang yang beliau tempuh sebelum akhirnya mampu mengusir pasukan Salib dari tanah para nabi tersebut untuk selama-lamanya. Setidaknya ada beberapa poin yang dapat kita ambil dari sepak terjang lelaki yang memiliki kunyah Abul Muzhaffar ini.
- Bukan dari bangsa Arab.
Mungkin ada yang menyangka bahwa Shalahuddin adalah orang Arab. Nyatanya tidak, demikianlah yang masyhur.[1] Meskipun terdapat perselisihan apakah beliau berasal dari bangsa Arab atau tidak. Yang jelas, beliau dinisbatkan kepada daerah Tikrit yang terdapat di Irak dan merupakan wilayah yang dihuni oleh mayoritas suku Kurdi. Suku Kurdi sendiri adalah suku asli Irak yang banyak berdiam di pegunungan dan pedalaman. Jadilah beliau dinisbahkan kepada suku Kurdi. Terlepas apakah beliau dari bangsa Arab atau tidak, Islam sendiri bukanlah agama yang menjunjung rasisme dengan menempatkan bangsa tertentu seperti Arab sebagai bangsa yang suprerior. Pada hakikatnya, perjuangan membebaskan al-Aqsha bukan hanya dilakukan oleh Shalahuddin saja. Namun sudah dipelopori dan diinisiasi oleh Nuruddin Mahmud Zanky, penguasa Syam pada saat itu dan berasal dari bangsa Turki Seljuk. Shalahuddin hanya pelanjut saja. Nuruddin lah yang merestui Shalahuddin agar menancapkan pengaruh Islam di tanah Mesir yang akhirnya menjadi cikal bakal pembebasan Al-Aqsha.
Semua ini mengajarkan kepada kita bahwa Islam bukanlah milik bangsa tertentu dan tidak layak jika estafet perjuangan Islam hanya dibebankan atas bangsa tertentu. Sejarah sendiri mencatat beberapa shahabat yang berkontribusi untuk perjuangan dan kejayaan Islam dan mereka bukanlah berasal dari bangsa Arab, seperti Bilal bin Rabah yang berasal Habasyah Etiopia, Salman Al-Farisi dari Persia, Abdullah bin Salam dari Bani Israil dan lain sebagainya.
- Berawal Dari Persatuan
Pada dasarnya ambisi untuk membebaskan Al-Aqsha bukanlah berasal dari Shalahuddin, namun merupakan ambisi besar Nuruddin Zanky yang bernama Mahmud bin Zanku bin Aq Sanqar, hingga beliau mempersiapkan mimbar yang berasal dari harta beliau sendiri untuk ditaruh di Al-Aqsha apabila Al-Aqsha berhasil dibebaskan. Langkah dan misi yang beliau fokuskan pertama kali adalah mempersatukan berbagai wilayah dan individu umat Islam di bawah kepemimpinan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah. Sebab beliau memahami bahwa untuk menghadapi pasukan Salib tidak bisa dilakukan secara sporadis, namun harus dengan langkah yang bijak dan terukur. Misi inilah yang diemban oleh Shalahuddin pertama kali, lalu berhasil dan berkembang hingga wafatnya Nuruddin, dan otoritas kebijakan pun berpindah ke tangan Shalahuddin secara sendirinya. Langkah Nuruddin ini juga dipraktikkan oleh Shalahuddin. Ini terlihat tatkala Shalahuddin berhasil memenangkan perang Hittin yang sengit dan merupakan puncak kekuatan pasukan Salib di tanah Syam, beliau tidak langsung beranjak ke Al-Quds atau Yerussalem. Tetapi beliau pergi ke Beirut (Lebanon) dan mengatasi sisa-sisa kekuatan pasukan Salib di sana hingga jadilah seluruh daratan Syam berada di bawah otoritas beliau. Setelah itu, baru beliau berangkat ke Al-Quds dan melakukan pengepungan beberapa bulan lamanya. Sederhananya, beliau berusaha untuk memutus mata rantai adanya peluang konsolidasi terhadap pasukan Salib dari Eropa dan menancapkan pengaruh Islam di seantero Syam agar nantinya tidak menjadi masalah bagi beliau tatkala beliau fokus mengepung dan membebaskan Al-Aqsha. Ini hampir mirip dengan langkah yang diambil Rasulullah dan para shahabat dengan menaklukkan dan berdamai kepada berbagai kekuatan kabilah Arab yang terdapat di sepanjang perjalanan dari Madinah ke Makkah sebelum akhirnya berhasil membebaskan Makkah dari pengaruh otoritas paganis Arab pada masa beliau.
- Menghancurkan Golongan Sesat
Ini juga salah satu tujuan Nuruddin Mahmud sebelum menghadapi pasukan Salib. Sebab beliau faham bahwa yang menghambat konsolidasi antar umat Islam untuk bersatu membebaskan Al-Aqsha adalah perbedaan aqidah dan dasar keyakinan. Inilah mengapa Shalahuddin akhirnya diutus ke Mesir dan menggoyangnya secara perlahan hingga akhirnya jatuh. Karena Mesir pada saat itu dikuasai oleh Dinasti Fatimiyah yang beraqidah Syiah Imamiyah dan secara tegas menentang otoritas kekhalifahan Bani Abbasiyah sebagai penguasa yang ditaati oleh umat Islam di seluruh dunia. Perbedaan keyakinan Fatimiyah yang Syiah dengan Abbasiyah yang Sunni tersebut pastinya berpengaruh pada sikap politik, seperti yang ditampakkan oleh kaum Fatimiyyin yang senantiasa mencela para khalifah Bani Abbasiyah di mimbar-mimbar mereka hingga para shahabat Nabi dan khulafaur Rasyidin. Nuruddin dapat memberikan berbagai fasilitas keagamaan untuk madzhab yang 4, namun tidak untuk Syiah Imamiyah Ja’fariyah. Ini menunjukkan sedari dulu perselisihan antara Sunni- Syiah bukan hanya dalam fiqh, tetapi juga aqidah. Nyatanya keempat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali dapat bersatu di bawah naungan pemerintahan Abbasiyah padahal memiliki perbedaan yang kontras dalam berbagai bentuk praktik dan pendapat keagamaan, tapi tidak dengan Syiah. Bagaimana pun jua, perbedaan aqidah ini nantinya akan menjadi duri dalam daging pasukan Islam jika tidak dituntaskan terlebih dahulu sebelum konfrontasi dengan skala besar menghadapi Salibis.
- Perhatian Terhadap Agama dan Dekat Dengan Ulama
Ini merupakan salah satu pribadi dan langkah yang ditempuh baik oleh Nuruddin maupun Shalahuddin. Nuruddin membangun madrasah An-Nuriyah dan Darul Hadits untuk mencetak kader-kader ulama dan dai di Syam, sedangkan Shalahuddin mengganti corak Universitas Al-Azhar yang awalnya Syiah menjadi Sunni serta mengembangkannya di Mesir. Ini juga terlihat dari upaya kedua sultan ini dalam memberangus berbagai bid’ah kaum Syiah Rafidhah dan mengembalikan masyarakat kepada Sunnah. Mereka menghapus tradisi mencela shahabat dengan mendoakan khulafaur rasyidin dan seluruh shahabat Nabi di berbagai masjid yang awalnya didominasi oleh kaum Syiah. Mereka juga mengganti lafal azan “hayya ‘ala khairil ‘amal” yang biasa dipakai oleh kaum Syiah dengan lafal azan yang biasa dipakai dalam Islam. Kedua sultan ini juga dekat dengan ulama, seperti hubungan erat antara Nuruddin dengan Ibnu Asakir, ahli hadits masyhur pada masa itu yang kepadanyalah Madrasah Darul Hadits diamanahkan pertama kalinya. Begitu juga hubungan antara Nuruddin dengan murid-murid Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Al-Hanbali dan hubungan erat antara pasukan Nuruddin dengan Syaikh Abdul Qadir. Sebab Syaikh Abdul Qadir rutin memberi wejangan kepada para mujahidin di perbatasan Irak pada masa Nuruddin. Demikian juga kedekatan antara Shalahuddin dengan Qadhi Fadhil dan selalu bermusyawarah dengannya ketika akan mengambil kebijakan. Kedua sultan ini melibatkan ulama dalam perjuangan Al-Aqsha dan menjadikan mereka sebagai meriam-meriam lisan dan ilmu untuk menghasung para mujahid agar semangat dan konsisten dalam menghadapi pasukan Salib
- Membangun Kekuatan dan Kekuasaan
Inilah yang hampir tidak ada pada para pemimpin negeri-negeri umat Islam hari ini. Nuruddin tidak hanya mengandalkan kebesaran militer kekhalifahan Abbasiyah saat itu. Akan tetapi beliau berupaya meruntuhkan Dinasti Fatimiyah terlebih dahulu di Mesir yang merupakan rivalnya. Demikian juga Shalahuddin. Shalahuddin tidak akan menggerakakkan pasukannya ke Al-Aqsha sebelum berbagai wilayah Islam seperti Mesir, Yaman, Hijaz, Irak, dan Syam (Damaskus) menyatukan diri kepada kekuasaannya dan menyatakan kembali loyalitas mereka kepada kekhalifahan Abbasiyah. Karena tidak mungkin menghadapi kekuatan sebesar pasukan Salib yang didukung oleh beberapa kerajaan Eropa yang dikendalikan oleh kepausan Katolik di Roma seperti Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan lain sebagainya dapat dihadapi tanpa di bawah kepemimpinan yang satu. Bagusnya lagi, wilayah-wilayah kecil yang tunduk di bawah otoritas Dinasti Abbasiyah tidak “gengsi” dan sungkan bersatu dan mendukung penuh langkah Shalahuddin dalam menghadapi pasukan Salib secara besar-besaran. Ini merupakan buah dari aqidah umat Islam yang masih memiliki keimanan yang baik dan kebencian terhadap kekafiran pada saat itu, di mana kekafiran memang dijadikan sebagai musuh dalam arti aqidah dan keyakinan, bukan musuh dalam arti “kepentingan”. Berbeda dengan negara-negara bangsa yang “katanya” dipimpin oleh pemimpin muslim dan mayoritas muslim yang justru acuh tak acuh dengan masalah Palestina, hingga ada yang diam-diam membersamai para penjajah dalam masalah Palestina ini, sebagaimana yang tampak dari kebijakan beberapa negara Arab belakangan ini dan sikap mereka terhadap entitas Zionis.
Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia
Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)
[1] Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fit Tarikh