Akibat Bakhil dan Memutus Bersedekah
Fatan Abu Miqdam
Penjelasan tentang bakhil sudah berlalu pembahasannya. Al-Quran sendiri telah memberi ancaman kepada para pelaku kebakhilan dan sering mengaitkannya dengan sifat angkuh serta kesombongan pada diri manusia. Ini semua mengisyaratkan bahwa bakhil dan kikir merupakan dosa besar di sisi Allah. Al-Quran tidak hanya mengultimatum “bakhil community”, tetapi juga mengisahkan adzab yang menimpa orang-orang bakhil. Allah berfirman:
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ . وَلَا يَسْتَثْنُونَ . فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِنْ رَبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ . فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ . فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ . أَنِ اغْدُوا عَلَى حَرْثِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَارِمِينَ . فَانْطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ . أَنْ لَا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُمْ مِسْكِينٌ . وَغَدَوْا عَلَى حَرْدٍ قَادِرِينَ . فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ . بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka sebagaimana Kami telah menguji para pemilik kebun tatkala mereka bersumpah akan memetik hasilnya di pagi hari. Dan mereka tidak beristitsna (menyandarkannya kepada Allah). Maka kebun itu pun ditimpa sebuah bencana dari Rabbmu ketika mereka masih tidur (di malam harinya). Lalu jadilah kebun itu seperti sharim. Mereka pun saling memanggil di pagi harinya. “Pergilah kalian ke kebun kalian jika kalian hendak memetik hasil (panen). Mereka pun pergi sembari saling berbisik-bisik. “Jangan kalian biarkan hari ini satu orang miskin pun menemui kalian di kebun.”Mereka bergegas berangkat dengan mengerahkan kemampuan mereka (untuk menghalangi orang miskin). Ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata “Sungguh kita betul-betul tersesat. Bahkan kita terhalang (dari seluruh hasil kebun).” (QS. Al-Qalam: 17-27)
Ikrimah mengatakan, “Mereka adalah sekelompok orang dari Habasyah. Ayah mereka memiliki kebun yang biasa digunakan untuk memberi makan orang miskin. Setelah ayah mereka wafat, anak-anaknya berkata, “Sungguh ayah kita dulu amatlah bodoh ketika memberi makan orang-orang miskin itu. Akhirnya mereka pun bersumpah akan mengambil hasil panennya di pagi hari, tanpa beristitsna, dan tidak mau memberi makan orang miskin.” (Tafsir Ath-Thabari XXIII/542-543)
Ibnu Abi Hatim menyandarkan tafsiran ini pada Ibnu Abbas.[1] Tidak ada pertentangan sama sekali, karena Ikrimah adalah salah satu murid utama Ibnu Abbas dan mendengar langsung darinya. Al-Abbas bin Mush’ab Al-Marwazi berkata, “ikrimah adalah murid Ibnu Abbas yang paling berilmu di bidang tafsir.” (Siyar A’lam Nubala V/15)
Tafsiran Ikrimah atau Ibnu Abbas tentang ayat di atas menunjukkan bahwa dari awal para pemilik kebun itu hendak menahan hasil kebun itu untuk orang miskin selepas ayah mereka wafat. Sebab, tatkala ayah mereka wafat, kebun itu pun menjadi warisan untuk mereka. Bahkan mereka menyebut ayah mereka “bodoh” karena gemar menyedekahkan hasil kebun tersebut kepada fakir miskin. Ketika mereka berniat dan berusaha untuk mengambil alih hasil kebun tanpa sedikit pun mau membaginya kepada orang miskin, Allah pun membinasakan kebun itu hanya dalam satu malam. Ibnul Jauzi berkata, “Para pakar tafsir mengatakan bahwa Allah mengirimkan api di malam hari, lalu kebun itu terbakar, hingga jadilah ia hitam.” (Zadul Maysir IV/323)
Seolah-olah Allah tidak ridha atas perbuatan mereka tersebut. Terlebih mereka melakukan itu dengan kesepakatan di antara mereka tanpa ada satu pun yang mengingkarinya. Paginya, mereka berusaha bergegas ke kebun itu untuk mengambil semua hasilnya agar jangan sampai orang-orang miskin tersebut mendahului mereka dalam mengambil hasilnya. Ini semuanya mereka rencanakan dengan baik dan matang. Tak dinyana, ketika mereka sampai di sana, mereka lihat semuanya sudah habis dan menghitam, sampai-sampai sebagian dari mereka mengira mereka salah jalan atau salah masuk kebun. Karena terkejut dan tidak menyangka semuanya lenyap begitu saja dalam jangka satu malam. Qatadah menjelaskan, “Sebagian mereka berkata, “Kita telah salah jalan ke kebun kita.” Tetapi sebagian lainnya berkata, “Tidak, bahkan memang kita telah terhalang (dari hasilnya). Kita tidak mendapatkan hasil kebun kita.” (Tafsir Ath-Thabari XXIII/50) Az-Zujaj menambahkan, “Kita tidak mendapatkan hasil kebun kita karena kita telah menghalangi hasilnya dari fakir miskin.” (Ma’niyul Quran V/208).
Dari ayat berikut tafsirnya ini mengisyaratkan bahwa memutus sedekah dan bersikap bakhil terhadap orang miskin (padahal ia mampu) dapat melenyapkan sesuatu yang seharusnya menjadi harta kita. Bahkan dapat menghilangkan harta kita sendiri dan kita ditimpa musibah karenanya. Sebaliknya, sedekah dapat mengundang rezeki dan menangkal musibah yang dapat menimpa harta kita. Ini selaras dengan hadits Nabi:
إنَّ لله أقْواماً اختَصَّهُم بالنِّعَمِ لمنَافعِ العِبادِ، يُقرُّهُم فيها ما بَذلُوها، فإذا مَنَعُوها نَزَعها منهم، فَحوَّلها إلى غَيْرِهِمْ
“Sesungguhnya Allah memiliki beberapa kumpulan orang yang Dia khususkan untuk diberi nikmat guna memberi manfaat kepada para hamba-Nya. Allah akan mempertahankan nikmat tersebut selama mereka mau menyisihkan nikmat tersebut (untuk orang lain). Apabila mereka menahan nikmat itu (tidak diberikan), Allah akan mencabut nikmat tersebut dari mereka, lalu memindahkannya kepada selain mereka.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath: 5162 dari Ibnu Umar. Dihasankan oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dalam At-Targhib III/263 dan Al-Albani dalam Shahihut Targhib II/707)
Allah pun akhirnya mencabut nikmat hasil kebun itu dari
mereka ketika mereka mau menguasainya dan menahan hasilnya dari fakir miskin.
Andai mereka tidak menahannya, kebun itu pasti akan terus awet dan tidak
lenyap. Sudahkah kita mengambil pelajaran darinya?! Yuk, rawat harta kita
dengan sedekah.
[1] Tafsir Ibnu Abi Hatim X/3365
Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia
Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)