“Wakaf Produktif”, Sebuah Renungan?!

Fatan Abu Miqdam

Istilah wakaf produktif masih asing di telinga sebagian kaum Muslim, khususnya di Indonesia. Sebab makna wakaf sering dimaknai hanya dalam wujud aset-aset keagamaan seperti masjid dan pesantren atau sosial seperti rumah, jembatan, jalan, dan lainnya, dimana manfaatnya dan hasilnya diperoleh secara eksklusif dan stagnan oleh penerima manfaat, tanpa membuka adanya perkembangan. Walhasil banyak aset-aset wakaf yang akhirnya terbengkalai dan tidak terurus karena ketiadaan dana untuk menutup seluruh pembiayaan dan pemeliharaan aset-aset wakaf tersebut akibat kejumudan berfikir dan sempitnya cara pandang masyarakat terhadap wakaf dan tekhnis pengelolaannya.

Padahal jika kita melihat pada nash-nash syar’i dan sejarah kenabian, kita akan menemukan bahwa pelaksanaan dan pengelolaan wakaf tidaklah sesempit itu. Rasulullah dan para sahabat tidak hanya melihat wakaf itu harus berbentuk aset yang diam dan konstan, namun juga berlaku pada aset yang sifatnya produktif dan berkembang. Wakaf itu bukan hanya berbentuk hal-hal yang sifatnya keagamaan, namun adakalanya hal-hal yang sifatnya ekonomis. Andaikan pemaknaan wakaf tersebut dimaknai sebagai pemaknaan para salaf terhadap wakaf, hal itu bisa menjadi potensi bangkitnya ekonomi umat Islam dan kaum muskin tidak perlu lagi ketergantungan pada belas kasihan orang-orang kaya. Ini bisa kita lihat dari riwayat berikut:

Ibnu Umar menceritakan, “Umar bin Khaththab mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu Umar mendatangi Rasulullah untuk meminta petunjuk tentang tanah itu. Umar bertanya: “Wahai Rasulullah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Tiada hartaku yang paling berharga melebihi tanah itu, apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, tahanlah (wakafkanlah) pokok tanahnya, lalu sedekahkan hasilnya.” Ibnu Umar melanjutkan: “Umar pun mensedekahkan hasil panennya. Tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh, dan tidak boleh diwariskan, sementara hasilnya disedekahkan untuk fakir miskin, kaum kerabat, para mujahid, di jalan Allah, para musafir, dan tetamu yang berkunjung. Orang yang mengurusnya boleh memakan hasilnya sesuai kebutuhannya dan menafkahi keluarganya dengan syarat bukan untuk memperkaya diri.” (HR. Al-Bukhari: 2737 dan Muslim: 1632).

Mari kita lihat bagaimana nasihat Rasulullah kepada Umar. Rasulullah tidak bilang, “wakafkan tanahmu untuk masjid” atau ucapan semisal. Justru, Rasulullah memberi nasehat yang amat cemerlang dan arahan yang efektif. Yaitu dengan cara mewakafkan kebunnya yang terus menghasilkan setiap tahun, tetapi bukan untuk diubah wujudnya. Namun yang diubah hanya kepemilikannya dan sistem pengelolaannya, dimana kepemilikannya beralih untuk umat Islam secara penuh, wujudnya dipertahankan, dan hasil pengelolaannya murni dialokasikan untuk masyarakat. Hasilnya, tanah tersebut tidak lagi milik Umar maupun keluarganya, tetapi keluarganya tetap mendapatkan manfaat dari tanah tersebut sebatas keperluan wajar, bukan untuk memperkaya diri. Dalam artian, Umar tidak harus merugikan dirinya sendiri atau mempersempit perekonomian keluarganya hanya karena ia berwakaf, sehingga keperluan sehari-hari Umar tetap terpenuhi melalui hasil kebun itu dan sekaligus dapat beramal shaleh dengan tanahnya itu, karena hasilnya diberikan untuk fakir miskin. Di samping itu, fakir miskin tidak perlu menunggu bantuan dari zakat dan sedekah orang kaya dengan adanya wakaf tersebut. Tentu nasihat ini Nabi sampaikan karena beliau faham bagaimana tingkat perekonomian Umar saat itu yang masih pas-pasan, tetapi Umar sangat bertekad beramal shaleh melalui hartanya.

Jika melihat riwayat Umar tersebut, maka supermarket, rumah makan, toko dagangan, dan berbagai unit usaha lainnya boleh diwakafkan selama tanah dan bangunannya sudah dimiliki secara penuh. Maka si pemilik usaha tetap dapat membutuhi keluarganya sekaligus beramal shaleh dan ikut serta membangkitkan ekonomi umat Islam ke depannya. Beginilah salah satu cara Islam mengelola perekonomian umatnya, ajaib bukan?! Namun sayangnya masih banyak umat Islam yang belum tahu hal ini, makanya terlihat belum begitu semarak dan wakaf hanya dimaknai sebagaimana pemahaman-pemahaman sebelumnya. Ini semua akibat kurangnya wawasan dan ilmu para dai, kurangnya pembaharuan terhadap konten dakwah, dan kelemahan dalam meneliti literatur-literatur Islam serta ketidak mampuan dalam mengekstrak dan mengembangkannya. Semoga tulisan ini bermanfaat kita semua.


Dukung Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
Dengan berdonasi melalui:
Bank Syariah Mandiri (BSM)
7010 0538 91 a.n.
Yayasan Al Hijaz Al Khairiyah Indonesia

Kode Transfer ATM Bersama 451)
konfirmasi via SMS/WA ke
08 11111 0948
(Ust Arofah)



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *