Hukum Menggabung Aqiqah & Qurban

Bolehkah berkurban sekaligus berniat aqiqah?

Penyembelihan hewan qurban di yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia 1440 H

Oleh: Fatan Abu Miqdam

Pertanyaan seperti ini selalu berulang dan senantiasa ditanyakan menjelang waktu berkurban. Sebab, selain berkurban adalah syiar, namun juga menjadi momentum tersendiri bagi kaum muslimin. Bagaimana tidak, idul adha adalah salah satu hari raya agung yang dirayakan oleh setiap muslim, dimana umat Islam saling berkumpul dan bersilaturrahmi di hari yang mulia ini. Maka adalah yang wajar, jika sebagian orang mempertanyakan pertanyaan di atas, barangkali idul adha bisa dijadikan juga untuk momen beraqiqah karena bertepatan dengan waktu berkumpulnya handai taulan, sehingga aqiqah itu menjadi semarak mengikuti semaraknya berkurban. Terkait ini para ulama sepakat boleh melaksanakan aqiqah pada waktu berkurban jika hewannya berbeda, yakni hewan yang digunakan berkurban berbeda dengan hewan yang digunakan untuk beraqiqah. Lantas bagaimana jika hewannya sama? Dalam artian jika hewan yang digunakan untuk berqurban juga diniatkan untuk aqiqah, apakah qurbannya sah?

Mengenai hal ini, para ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama, pendapat yang menyatakan tidak sah. Sebab, ibadah kurban dan aqiqah memiliki sebab dan sifat yang berbeda. Ibadah kurban adalah ibadah khusus yang terikat dengan waktu tertentu dalam rangka beribadah kepada Allah secara khusus, sedangkan aqiqah tidak. Ibadah kurban hanya boleh dilakukan setelah shalat ied hingga berakhirnya hari tasyrik (11, 12, dan 13 hijriyah), sementara aqiqah boleh dilaksanakan sejak hari pertama lahir hingga baligh, walau yang diutamakan adalah hari ketujuh –menurut jumhur ulama-. Ibadah kurban boleh dilakukan dengan cara bersekutu maksimal 7 orang pada hewan sapi dan unta, sedangkan aqiqah harus dilakukan untuk per anak –menurut mayoritas ulama-. Ibadah kurban dilaksanakan untuk ibadah khusus dan karena waktu khusus, sedangkan aqiqah dilaksanakan dalam rangka bersyukur dan karena lahirnya seorang anak. Ini merupakan pandangan madzhab Maliki dan salah satu pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafii.[1]

         Imam Malik ditanyai tentang seorang lelaki yang memiliki anak berusia 7 hari dan hanya memiliki seekor kambing saja, apakah sah baginya beraqiqah sekaligus berqurban dengan seekor kambing tersebut? Imam Malik menjawab: “Tidak, ia harus mengaqiqahi anaknya juga.”[2] Al-Haytami dari madzhab asy-Syafii mengatakan: “Lahiriyah matan hadits ini dan pendapat al-ashhab (para penganut Syafiiyah terdahulu) bahwa jika ada yang berniat menyembelih seekor kambing untuk qurban sekaligus aqiqah, maka tidak akan tercapai salah satu apa yang ia niatkan. Inilah yang zhahir.”[3]

       Pendapat Kedua, menyatakan sah dan boleh. Alasannya karena qurban dan aqiqah itu merupakan ibadah dengan jenis yang sama, yakni sama-sama ibadah kepada Allah dengan cara melakukan penyembelihan. Ini merupakan pandangan yang muktamad dalam madzhab Hanafi, salah satu pandangan yang muktamad dalam madzhab Syafii, dan madzhab Hanbali.[4]

            Diriwayatkan oleh Hanbal bahwa Imam Ahmad mengatakan: “Aku berharap berqurban dalam mencukup aqiqah jika seseorang belum pernah di aqiqah.”[5] Al-Kasani al-Hanafi mengatakan: “Dan dari berbagai sisi –meski berbeda-beda- maka maknanya tetap sama. Karena masing-masing tujuan ibadah penyembelihan tersebut adalah mendekatkan diri kepada Allah. Demikian juga jika sebagian yang berqurban hendak sekalian beraqiqah sebelumnya….”[6]

          Jika kita melihat kepada pengamalan Rasulullah dan para shahabat, maka tidak ada riwayat beliau dan para shahabat beliau pernah melakukannya. Namun ada sebagian salaf yang berpandangan bahwa orang yang telah berqurban tidak perlu lagi beraqiqah, seperti al-Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, dan Qadatah.[7]

       Dalam kaidah fiqh yang sering disampaikan oleh para ulama disebutkan bahwa “keluar dari perselisihan para ulama itu dianjurkan”[8] dan para ulama hanya berselisih mengenai hukum berqurban sekaligus aqiqah pada satu hewan yang sama, namun sepakat disyariatkannya jika dilakukan terpisah atau pada hewan yang berbeda, maka tidak menggabung antara berqurban dan aqiqah jauh lebih selamat, sesuai dengan pengamalan Nabi, dan lebih menenangkan hati terkait keabsahannya. Wallohu a’lam bish showab


[1] Pandangan madzhab Maliki dalam al-Bayan wat Tahshil III/394 dan adz-Dzakhirah IV/166. Madzhab Syafii dalam Tuhfatul Muhtaj III/369.

[2] Riwayat ini dibawakan oleh Abul Walid Ibnu Rusyd dalam al-Bayan wat Tahshil III/394.

[3] Ibnu Hajar al-Haytami dalam Tuhfatul Muhtaj IX/389-390. Ucapan beliau: “Inilah yang zhahir” menunjukkan pendapat yang mengatakan sah adalah lemah. Wallohu a’lam

[4] Madzhab Hanafi dalam al-Bada’iush Shanai’ V/72, salah satu pandangan Syafiiyah dalam Nihayatul Muhtaj (ar-Ramli) VIII/145-146, dan madzhab Hanbali dalam al-Inshaf IV/111. Perlu dicatat, bahwa yang masyhur dalam madzhab Hanafi, aqiqah hukumnya boleh, bukan sunnah. Adapun pendapat ar-Ramli dari kalangan Syafiiyah, beliau tidak menisbahkan pendapatnya tersebut pada salah satu ulama Syafiiyah sebelum beliau. berbeda dengan al-Haytami yang menisbahkannya secara langsung pada Ashhab (Syafiiiyah era awal) dalam Tuhfatul Muhtaj. Wallohu a’lam

[5] Lihat al-Hidayah I/206

[6] Madzhab Hanafi dalam al-Bada’iush Shanai’ V/72

[7] Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah V/116

[8] As-Subki dalam al-Asybah wan Nadzhair I/111



Sudah tau mau Qurban dimana tahun ini?

Yayasan Al-Hijaz Al-Khairiyah Indonesia
menyelenggarakan Pengumpulan, Pemrosesan dan Pendistribusian Qurban setiap tahunnya.
Info Selengkapnya hubungi (Telp/Wa) :
08 11111 0948
Ust Arofah



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *