Sebuah catatan ringan tentang kehidupan Santri jelang Idul Fitri

Lebaran itu identik dengan nuansa sukacita, kumpul keluarga, makan aneka masakan ibu yang enak, masyaallah, hari yang sangat ditunggu-tunggu. Biasanya setelah salat ied, dirangkaikan dengan sungkeman, silaturahmi ke kerabat, tetangga, kemudian nyobain berbagai jenis kue-kuean khas lebaran. Untuk wilayah Makassar, biasanya yang jadi menu andalan di hari ied ada burasa plus mie instan, atau konro, hmm..!

Meski hari raya adalah hari penuh sukacita, tapi, tidak dengan santri. Dari masa ke masa, santri dan lebaran itu jarang bisa akur. Terutama santri yang sedang dalam perantauan atau yang sedihnya double, sudah merantau, juga sudah kehilangan tempat ia pulang. Seenak-enaknya burasa dan ketupat pun, bisa jadi terasa hambar, ada saja yang kurang baginya.

Biasanya setelah sungkeman ke ustadz-ustadz di pondok, mereka akan kembali ke tempat ber‘uzlah mereka, di sana, di pojok-pojok ruangan itulah mereka menumpahkan air matanya. Duh!

Yah, namanya juga santri, hidupnya sudah terbiasa susah, dan sudah sangat paham kalau dunia ini memang tak pernah mampu memberikan nikmat sempurna. Makanya mereka rela jauh dari dari orang-orang yang dicinta untuk tujuan yang mulia. Hidupnya bergulir antara mudarasah dan murajaah, lembaran-lembaran kitab kuning hingga mimbar-mimbar dakwah, masyaallah.

Semoga Allah kuatkan para santri yang sedang dalam perantauan, juga yang sudah kehilangan sebagian tempat pulangnya. Yang sabar yah! khairan insyaallah.

Penulis: Rusdi Qasim, Lc

Editor: Faisal Mursila

Satu tanggapan untuk “Sebuah catatan ringan tentang kehidupan Santri jelang Idul Fitri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *